Lovestory About Choirmaster

princess bermata biru
Chapter #36

36. Malaikat yang Ingin Hidup

Sejauh ini, persiapan pernikahan berjalan lancar. Pekerjaan dan aktivitas lain pun normal. Hanya satu yang mereka cemaskan: kondisi Gabriel.

Ya, kondisi pria itu terus menurun. Belum lagi ia tak mau menjalani amputasi. Dari hasil medical check up yang terakhir, diketahui jika sel-sel Osteosarkoma bermetastasis ke organ ginjal, pankreas, limpa, sumsum tulang belakang, dan sel otak. Seiring berjalannya waktu, Osteosarkoma terus melemahkannya, merapuhkannya. Namun bukan Gabriel namanya jika ia tidak bisa menghadapi penyakitnya dengan tegar. Sebesar apa pun rasa sakitnya, ia tak pernah mengeluh. Selalu saja ia mengatakan jika dirinya sehat di depan semua orang. Padahal mereka mencemaskannya, memintanya melakukan Limb Ablation. Kejadian hari ini salah satu buktinya.

Seminggu sebelum pernikahan, Gabriel masih berkutat dengan rutinitasnya melatih anggota PSM. Seperti biasa ia melatih mereka dengan sabar. Anak-anak paduan suara mengikuti arahannya, menyanyi seperti yang ia ajarkan. Menyanyi dengan hati dan interpretasi yang baik. Itulah yang kerap kali diajarkan Gabriel pada mereka.

“Saat menyanyi, pikirkan juga interpretasinya. Pahami makna lagunya. Interpretasikan dan simulasikan.” Gabriel menjelaskan dengan kesabaran luar biasa.

Anak-anak mengangguk paham. Gabriel bergerak ke depan piano, tak sadar jika puluhan pasang mata memandanginya. Dengan luapan rasa cemas, mereka memperhatikan betapa lemah gerakan Gabriel. Betapa rapuh jari-jari tangannya. Betapa dalam lingkaran hitam di mata pria tampan itu.

“Kita coba sekali lagi ya, baru setelah itu shalat Maghrib. One…two…three.”

Rasa cinta

Yang dulu telah hilang

Kini berseri kembali

T'lah kau coba

Lupakan dirinya

Hapus cerita lalu

Dan lihatlah

Dirimu bagai bunga

Di musim semi

Yang tersenyum

Menatap indahnya dunia

Yang seiring menyambut

Jawaban segala gundahmu

Walau badai menghadang

Ingatlah ku 'kan selalu

Setia menjagamu

Berdua kita lewati

Jalan yang berliku tajam

Setiap waktu

Wajahmu yang lugu

Selalu bayangi langkahku

Telah lama

Kunanti dirimu

Tempat ku kan berlabuh

Cahya hatiku

Yakinlah kekal abadi

Selamanya

Seperti bintang

Yang sinarnya

Terangi s'luruh

Ruang dijiwa

Membawa kedamaian

Walau badai menghadang

Ingatlah ku 'kan selalu

Setia menjagamu

Berdua kita lewati jalan

Yang berliku tajam

Resah yang kaurasakan

‘Kan jadi bagian hidupku bersamamu

Letakkanlah segala lara di pundakku ini (Ada Band-Walau Badai Menghadang).

Denting piano memenuhi ruangan. Disusul alunan suara bass, tenor, alto, dan sopran. Membawakan lagu dengan presisi mengagumkan. Menyanyi dengan interpretasi yang baik.

Good,” Gabriel memuji. Nampaknya cukup puas dengan progres latihan mereka.

“Sekarang kita shalat dulu. Kalian harus kembali lagi ke sini jam 18.30.”

Berdua atau bertiga, anggota paduan suara melangkah keluar ruang latihan. Tapi masih banyak yang tetap tinggal di dalam. Tak terkecuali Maureen. Sejak tadi gadis cantik bermata abu-abu itu gelisah.

“Kak Cintya, sebenarnya aku mau bicara dengan Gabriel…” bisiknya.

Cintya paham, lalu memanggil Gabriel. Mengatakan bila Maureen ada perlu dengannya.

“Oke, kita bicara di luar yuk.”

Lihat selengkapnya