Senja berganti malam saat pesawat itu mendarat mulus di Bandara Hasanuddin. Bersama para penumpang pesawat lainnya, Gabriel dan Najwa melangkah bertautan tangan menyusuri lorong garbarata. Hari ini tanggal 9 Februari, tepat tujuh hari sejak honeymoon mereka ke Tembagapura.
Najwa tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tiga hari lagi, bisik suara kecil di hatinya. Ia harus menyiapkan kejutan istimewa.
Sesaat kemudian mereka sampai di basement bandara. Sibuk berkutat dengan smartphone masing-masing, mengaktifkannya kembali. Begitu benda-benda canggih itu menyala, langsung saja beberapa notifikasi masuk. Satu demi satu notifikasi dibuka. Semenit. Tiga menit. Lima menit, Najwa melihat rona bahagia terlukis di wajah tampan Gabriel.
“Najwa?”
“Ya?”
“Kita ke rumah Marco sekarang. Luna sembuh.”
Mendengar itu, mata Najwa berbinar bahagia. “Benarkah? Alhamdulillah...”
**
“Bagaimana caranya...agar kamu tahu bahwa kau lebih dari indah di dalam hati ini. Lewat lagu ini kuingin kamu mengerti...aku sayang kamu, kuingin bersamamu.”
Suara lembut Luna dan dentingan piano mendominasi ruang tamu bernuansa off white itu. Dua perpaduan yang indah. Luna terus bernyanyi, pandangannya tak lepas menatap Marco. Ia teramat tulus menyanyikan lagu itu untuk sang ayah.
Semua yang hadir di sana bertepuk tangan. Memuji suara Luna dan permainan piano Zahra. Mengatakan jika ibu dan anak itu sangat berbakat.
“Ayah...Luna sayang sekali sama Ayah,” ucap Luna.
“Iya Sayang, Ayah juga sayang Luna.”
Setelah Luna dinyatakan bersih dari kanker, Marco mengadakan pesta kecil di rumahnya. Kania, Riana, dan anak-anak lainnya hadir. Begitu pula kesebelas anak angkat Gabriel. Selain itu, Marco dan Zahra juga mengundang Dani, Anjas, Kalis, Dicky, Alia, Alisha, Kamal, dan Anastasia. Oki, Langen, dr. Anin, dr. Reva, Prof. Tina, Prof. Apollo, Prof. Harini, dan Prof. Andreas ada pula di sana. Sebenarnya Marco ingin mengundang relawan-relawan pemerhati kanker dan AIDS serta para surviver, tetapi mereka meminta maaf dengan sangat tak bisa datang karena terbentur kesibukan lain.
“Luna juga mau terus sama Ayah.” kata Luna lagi.
“Iya Luna, mulai sekarang kan Luna tinggal di sini. Sama Ayah,”
Langsung saja anak-anak angkat Marco lainnya merajuk manja. Mengungkapkan keinginan mereka tinggal di rumah ini, bukan lagi di bangsal rumah sakit. Para tamu tersenyum menatapi tingkah mereka. Marco dan Zahra menenangkan anak-anak itu. Mengatakan mereka bisa tinggal di sini setelah sembuh seperti Luna. Memotivasi mereka untuk terus berjuang melawan kanker.
Atmosfer kebahagiaan melingkupi seluruh rumah. Semakin menyenangkan ketika Gabriel dan Najwa tiba. Melihat kedatangan sepupunya, Marco refleks bangkit dan menyambutnya dengan pelukan. Kedua pria yang punya banyak persamaan itu berpelukan layaknya kontak tubuh yang biasa dilakukan orang Jerman. Kebiasaan yang masih melekat sejak mereka tinggal beberapa tahun di Munchen untuk menyelesaikan magister.
“Bagus, mereka masih mempertahankan gaya komunikasi ala Jerman.” Anjas berkomentar puas.
“Memang,” kata Marco dan Gabriel, bergabung bersama para tamu lainnya.
Sementara itu, Najwa juga disambut dengan pelukan erat oleh Zahra, Alia, dan Alisha. Ketiganya berebutan bertanya tentang honeymoon dan momen-momen berkesan di Tembagapura.
“Gaya komunikasi di Jerman cenderung hangat. Semuanya diperlakukan sama, pria dan wanita. Jika baru pertama kenal, mereka akan menyalami kita sambil menepuk bahu kita. Tapi setelah kenal akrab dan dekat, mereka akan mengajak kita berpelukan.” Anjas, Marco, dan Gabriel menjelaskan pada para sahabat.
“Hmm...begitu rupanya. Bagaimana dengan di Arab, Kalis?” tanya Dani ingin tahu.
“Gaya komunikasi di Arab berbeda dengan di Jerman atau negara-negara Barat lainnya. Mereka suka mujamalah, atau biasa kita sebut basa-basi. Bila dua orang Arab yang sudah akrab bertemu, mereka akan saling berangkulan dan mencium pipi rekannya. Tapi biasanya mereka sangat ramah dan murah hati pada tamu. Wanita begitu dijaga di sana. Istilahnya, wanita-wanita Arab Saudi adalah properti domestik. Oh ya, orang Arab terbiasa mengekspresikan perasaan mereka. Makanya jangan salah persepsi kalau nada suara orang Arab cukup keras saat bicara. Mereka bukannya marah, tapi dengan cara itulah mereka mengekspresikan perasaan.” Kalis menerangkan dengan senang hati.
Sejenak mereka larut dalam perbincangan tentang gaya komunikasi Arab dan Jerman. Sampai akhirnya topik pembicaraan kembali pada kesembuhan Luna.
“So, ceritakan pada kami. Bagaimana keajaiban Allah bisa menghampiri putrimu yang satu ini, Marco.” pinta Gabriel.
Marco tersenyum. Satu tangannya mengusap punggung Luna. Sejauh yang diperhatikan Gabriel, belum pernah Marco sebahagia ini.