Lovestory About Choirmaster

princess bermata biru
Chapter #41

41. Bulir-Bulir Kenangan

Beberapa hari berikutnya berlalu. Gabriel dan Najwa tenggelam dalam rutinitas dan pekerjaan mereka. Begitu pula para sahabat lainnya. Meski sibuk, mereka tetap saling kontak.

Segalanya berjalan normal sejauh ini. Hanya satu yang selalu memberati pikiran mereka: kondisi Gabriel. Sampai kapankah pria tampan itu akan bertahan? Setiap hari, mereka dicekam kecemasan. Bertanya-tanya, masih hidupkah Gabriel? Apakah dia baik-baik saja? Sementara Gabriel sendiri membawa rileks penyakitnya. Ia teramat tegar, sehingga tak sekali pun mengeluh atau menampakkan kesakitan. Betapa pun Osteosarkoma menyiksanya, ia tetap tegar. Tetap bersikap seakan dirinya tidak sakit, dirinya kuat dengan semua ini.

Dengan banyaknya pekerjaan, kegiatan sosial, dan beban kecemasan yang bersarang di dalam hati, tanpa terasa akhir pekan tiba di depan mata. Sabtu pagi tiba, cerah dan indah. Waktu yang tepat untuk berjalan-jalan ke tempat istimewa.

“Jadi, ceritanya kamu mau mengunjungi tempat-tempat penuh kenangan itu?” tanya Gabriel memastikan. Tersenyum seraya mengerling Peri Kecilnya.

“Iya. Sudah lama kita nggak ke sana.” Najwa mengangguk mantap.

Tempat-tempat yang dimaksud adalah panti asuhan, sekolah, dan Fakultas Kedokteran Unhas. Maka, mereka berdua berencana menghabiskan hari yang indah ini dengan berkunjung ke tiga tempat itu.

Tempat pertama adalah panti asuhan. Begitu mereka datang, langsung saja anak-anak panti berlarian menyambut mereka. Memeluk, bertanya kabar, dan mengungkapkan kerinduan. Najwa dan Gabriel balas memeluk anak-anak itu satu per satu. Mereka juga rindu.

Ibu Kepala Panti tak kalah hangat. Walau Najwa bukan lagi anak asuhnya, sikap wanita paruh baya berambut putih itu tetap penuh kasih sayang. Ia sudah menganggap Najwa seperti anak kandungnya sendiri.

“Akhirnya pengantin baru ini datang,” selorohnya ditingkahi tawa riang anak-anak.

“Ibu...” Wajah Najwa merona. Menerima pelukan hangat Ibu Kepala Panti.

“Lho kenapa malu, Sayang? Kamu dan Gabriel memang pengantin baru. Dan kamu, Gabriel, Ibu selalu mendoakan kesehatan dan umur panjang untukmu. Agar kamu bisa selalu menemani dan menjaga Najwa.”

Gabriel mengangguk takzim pada wanita itu. “Terima kasih, Ibu.”

Mereka pun melewatkan waktu bersama para penghuni panti. Bermain, belajar, dan bercerita. Gabriel dan Najwa membagikan hadiah-hadiah yang mereka bawakan khusus untuk semua anak di sana. Mereka pun memberikan donasi dengan nominal yang cukup besar. Hal rutin yang mereka lakukan selama beberapa tahun terakhir.

“Banyak kenangan di sini...” desis Najwa. Pandangannya bertemu dengan Gabriel. Memori mereka mulai terbuka, memutar satu demi satu kenangan.

**    

Hari terakhir liburan sekolah. Najwa kecil, dalam usianya yang kedelapan tahun, bangkit dari sofa ruang tengah panti. Melepaskan tatapan dari layar televisi. Menghela nafas dalam, lalu melangkah ke koridor panti. Berharap menemukan seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya.

Sebenarnya ia berharap Ibu Kepala Panti yang menjawab pertanyaannya. Sayangnya, hari ini Ibu sedang pergi. Alhasil, Najwa harus menemukan orang lain.

Di koridor, ia berpapasan dengan Kak Kirani, salah satu pengurus panti. Terlihat wanita muda itu sibuk merapikan tumpukan kotak berisi seragam dan peralatan sekolah baru untuk anak-anak panti. Kelihatannya ia tengah sibuk dan kerepotan. Tanpa kata, Najwa membantunya.

“Ah terima kasih, Najwa.” Kak Kirani tersenyum.

“Sama-sama. Kak, Najwa boleh tanya sesuatu?”

“Boleh dong, Sayang. Mau tanya apa?”

“Kak Kirani tahu nggak, siapa orang tuanya Najwa?”

Sesaat Kak Kirani mengerutkan dahi. Seingatnya, Najwa dibawa ke panti ini oleh Ibu Kepala sendiri. Mengatakan jika Najwa ditemukan menangis sendirian di sudut jalan dekat Bandara Hasanuddin.

“Maaf, Kakak nggak tahu...”

Bukan Najwa namanya kalau puas dengan jawaban seperti itu. Ia terus mendesak Kak Kirani. Ia yakin sekali Kak Kirani sesungguhnya tahu jawabannya. Najwa terus mendesak dan merajuk, sampai akhirnya...

“Diam! Kakak kan bilang, Kakak nggak tahu apa-apa! Anak keras kepala! Pergi, pergi!” Kak Kirani kehabisan kesabaran, dan puncaknya membentak Najwa.

Najwa, gadis kecil lemah lembut itu, Peri Kecil yang rapuh nan baik hati itu, tertunduk. Ia tak suka dibentak. Tak suka diperlakukan kasar. Gemetar kakinya melangkah meninggalkan koridor. Air mata meleleh ke pipi chubby-nya.

Anak-anak panti lainnya berlarian menghampiri Najwa. Bertanya cemas, ingin tahu kenapa ia menangis. Najwa menggeleng lemah, ia ingin sendiri. Bergegas menuju halaman, mengambil sandal bergambar kepala kelinci miliknya, lalu berlari kecil menuju tanah lapang di belakang panti asuhan.

Di tengah jalan ia bertemu Gabriel. Anak lelaki berwajah rupawan itu tak tinggal diam. Memeluk Najwa erat, mengulurkan sapu tangan dan membantu Peri Kecilnya mengusap air mata.

“Kak Kirani nggak mau jawab pertanyaan Najwa...Najwa kan pengen tahu, siapa Ayah-Bunda Najwa.” Gadis mungil itu terus menangis. Tubuhnya gemetar dalam pelukan Gabriel.

“Iya, aku tahu. Nanti aku bantu Najwa cari Ayah sama Bunda. Tapi, Najwa boleh anggap Papa dan Mamaku seperti Ayah-Bundanya Najwa. Mereka juga sayang Najwa kok.” hibur Gabriel.

Setelah Najwa tenang kembali, Gabriel mengajaknya ke rumahnya. Mencoba menghapus duka di hati Peri Kecilnya. Membiarkan Najwa mendapat curahan perhatian dan kasih sayang dari Prof. Harini dan Prof. Andreas. Voilet, usahanya berhasil. Najwa kini bisa tersenyum lagi.

**   

“Maksud kami datang ke sini adalah...untuk mengadopsi Najwa,” kata Prof. Andreas sopan.

Demi mendengar itu, Najwa terperangah. Mata hazelnya bertatapan dengan mata bening Gabriel. Gabriel tersenyum, terlihat begitu senang. Ia senang atas keputusan Mama-Papanya.

Kak Kirani dan beberapa pengurus panti lainnya saling pandang. Terdiam sejenak. Kemudian Kak Kirani menjawab,

“Kami menyambut dengan senang hati niat Bapak dan Ibu. Tapi, keputusan bukan di tangan kami, melainkan ada di tangan Ibu Kepala Panti dan Najwa sendiri.”

“Gimana, Najwa? Kamu mau diadopsi kan, Sayang?” tanya Prof. Harini lembut.

Najwa mengangguk. “Najwa mau, Tante.”

Gabriel tak bisa menahan kegembiraannya lebih lama lagi. Ia senang sekali Najwa mau diadopsi. Dengan begitu mereka akan tinggal serumah, dan ia lebih mudah menjaga Peri Kecilnya.

Ironisnya, kesenangan itu memudar dalam hitungan menit. Pada saat itu salah satu anak yang lebih besar berlari ke ruang tamu. Tangisnya pecah.

“Ibu! Ibu Kepala Panti...jatuh dari tangga! Kepalanya berdarah banyak sekali!”

Langsung saja panti asuhan diselimuti kepanikan. Gabriel, Najwa, Prof. Harini, dan Prof. Andreas bergegas membawa Ibu ke rumah sakit. Syukurlah mereka segera membawa Ibu ke rumah sakit. Praktis ia tidak terlambat ditangani.

Jatuhnya Ibu dari tangga membawa akibat fatal. Wanita baik hati itu mengalami kelumpuhan. Ia diharuskan menjalani terapi dan perawatan intensif selama setahun. Vonis dokter itu membawa pengaruh yang besar dalam diri Najwa. Malam itu, di depan ruang rawat, Najwa memohon maaf. Kedua mata hazelnya berkaca-kaca.

“Om Andreas, Tante Harini, Gabriel...” panggilnya lirih.

Ketiganya berpaling. Menatap Najwa penuh perhatian. Menantinya bicara.

“Maaf, aku...aku memutuskan nggak mau diadopsi. Aku mau fokus merawat Ibu.”

“Tapi kenapa, Najwa? Kamu masih bisa merawat Ibu walau pun sudah jadi anak kami,” ucap Prof. Andreas.

“Kami tidak melarang, Ibu Panti juga. Beliau justru mendukung kami mengadopsimu.” Prof. Harini melanjutkan.

Najwa menggeleng kuat, bibirnya bergetar. Buliran kristal bening menuruni pipinya. Melihat itu, Gabriel melangkah ke sisi Najwa dan merangkulnya hangat.

“Om, Tante, Najwa akan sangat egois kalau memutuskan untuk diadopsi. Najwa berbahagia, sementara Ibu Panti menderita. Najwa nggak mau itu terjadi. Apa lagi Ibu selalu baik sama Najwa.”

Kesedihan menggantung berat di koridor rumah sakit. Najwa sendiri sedih dan menyesal harus menolak tawaran Prof. Andreas dan Prof. Harini. Tetapi ia tak punya pilihan lain.

“Peri Kecil, aku mengerti pilihanmu. Aku menghargai keputusanmu.” Akhirnya Gabriel bicara. Hangat tangannya membelai punggung Najwa yang bergetar oleh isakan. “Tapi satu hal yang perlu kamu ingat: kamu nggak sendirian. Aku, Mama, dan Papa akan selalu ada buat kamu.”

**   

Tahun-tahun terlewati dengan cepat. Kini Najwa genap berumur dua puluh tahun. Sedang memasuki semester lima kuliahnya. Ia tumbuh menjadi gadis cantik, mandiri, aktif, berjiwa sosial tinggi, dan cerdas. Tapi gadis secantik dan semenawan dirinya tengah terhempas masalah.

“Najwa, kamu kerja di sini?” Oki bertanya, antara kaget dan penuh simpati. Mengedarkan pandang ke sekeliling restoran.

Najwa berbalik dari wastafel, menyeka tangannya yang kotor dengan tissue. “Iya,”

“Kenapa? Kamu kan sudah dapat beasiswa. Buat apa harus kerja lagi?” Langen berkata dengan nada interogatif.

“Aku...aku butuh banyak uang,” sahut Najwa pelan.

Langen ingin melontarkan pertanyaan lain, tetapi disela kedatangan supervisor. Ia menegur Najwa karena melalaikan pekerjaannya. Seharusnya ia mengantarkan menu pesanan ke meja nomor 18. Buru-buru Oki menengahi. Mengatakan ini salah mereka, dan meminta si supervisor berhenti menegur Najwa.

“Najwa, kamu sebenarnya kenapa? Jawab pertanyaan kami.” Bujuk Oki sabar.

Najwa menghela nafas. “Ibu Kepala Panti berutang pada rentenir. Saat jatuh tempo, Ibu belum bisa membayar hutang dan bunganya yang berlipat ganda. Rentenir itu marah, lalu mengancam akan merobohkan panti asuhan jika hutang dan bunganya tak segera dibayar. Jumlahnya banyak sekali, maka aku berinisiatif untuk bekerja agar bisa membantu Ibu melunasi hutangnya.”

Hening. Oki dan Langen bertukar pandang kagum. Ya, mereka mengagumi Najwa. Gadis cantik itu masih bisa membagi waktu untuk kuliah, bekerja, melakukan kegiatan sosial, dan berorganisasi. Ia pun terlihat tegar, tak pernah membawa masalahnya yang begitu berat di kampus maupun di organisasi.

“Kami salut sama kamu, Najwa.” Oki akhirnya berkata.

Najwa mengangkat wajah. Menatap kedua sahabatnya kebingungan.

“Iya, kamu pintar membagi waktu. Dan kamu sangat tegar.” jelas Langen.

“Gabriel tahu soal ini?”

“Tidak, Langen. Aku tak ingin menambah beban pikirannya. Lagi pula, dia sudah cukup banyak membantuku.”

Lihat selengkapnya