Lovetainment

SURIYANA
Chapter #2

2. Perusak Karier dalam Semalam

Suara pengumuman berkumandang seantero halte Transjakarta. Petugas meneriakkan tujuan sebagai panduan bagi para penumpang. Dwi menaiki bus tersebut dan beruntung karena mendapatkan tempat duduk.

Seperti kebanyakan orang lain, tangan Dwi tidak lepas dari telepon genggam. Notifikasi pesan yang ia terima belum bersih sempurna. Sedari tadi ia telah mengeceknya dan isinya semua senada.

Lo ada di mana? Sengaja menghilang, hah?

Pesan itu masih berasal dari orang yang sama, yaitu Prima Utama.

Terimakasih sudah merusak karier gue. Kalau lo ada di depan gue, lo udah mati. MATI!

Dwi mencibir. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak mau lagi bekerja di bawah perintah Prima Utama. Santi benar. Ia adalah lulusan dari universitas bergengsi di Amerika Serikat. Ia punya modal lebih dari cukup untuk mencari karier yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering. Semua penumpang menatapnya sinis. Sembari mematikan volume, ia melihat identitas penelepon. Teh Euis. Cepat-cepat ia mengangkatnya.

Dwi mendapatkan tatapan tajam dari penumpang di seberangnya. Ia pun merendahkan suara sewaktu berkata, “Teteh, aku telepon nanti ya. Lagi di busway.”

Sewaktu ia menutup telepon, aplikasi penerima pesannya menampilkan teks kiriman Teh Euis. Pajak rumah sudah harus dibayar, Neng.

Pesan selanjutnya berupa jumlah nominal yang harus ia bayarkan. Tidak lupa Teh Euis juga menambahkan kalau mereka sudah menunggak dan dendanya tentu saja harus dibayar.

Refleks, ia memijat dahinya. Otaknya mencari-cari strategi untuk mengatasi masalah ini. Salah satu titik di saraf pusatnya menyala-nyala, pertanda sedang tergelitik dengan ide yang baru saja menempati ruang tersebut.

Sementara itu, petugas Transjakarta menyerukan pemberhentian selanjutnya. Dwi berdiri dan bersiap-siap turun. Bukan karena halte selanjutnya itu adalah tujuannya, melainkan tempat lain. Tempat yang harus ia tuju demi mendapatkan solusi dari masalah yang diungkapkan oleh Teh Euis. Tujuan itu justru ada pada arah rute sebaliknya.

Dwi harus menunggu kedatangan bus yang akan mengantarkannya ke tujuannya yang baru. Begitu mendudukkan diri di kursi tunggu, ingatan Dwi melayang kepada peristiwa tadi malam.

***

Sebuah mobil Alphard berwarna hitam melaju perlahan-lahan. Kendaraan yang membawa Prima Utama dan rombongannya itu tidak dapat menambah kecepatannya. Pasalnya, di depan mereka deretan mobil juga macet alias tidak bergerak. Tidak hanya itu, di samping kiri dan kanan mereka berjejalan orang-orang yang sedang berjalan kaki.

Malam itu, sedang berlangsung persiapan acara Apresiasi Musik Indonesia. Sebuah program penghargaan terhadap artis dan musisi sukses tanah air. Prima Utama mendapatkan beberapa nominasi dalam acara tersebut. Ia dijagokan sebagai pemenang Solis Wanita Terbaik, Lagu Terbaik, dan Album Terbaik. Tidak hanya itu, diva terkenal Indonesia itu juga dijadwalkan bernyanyi di sela-sela pengumuman pemenang.

“Nggak ada jalan lain, Pak Jono?” tanya Prima sembari memeriksa riasan wajahnya lewat kaca spion di atas mobil.

“Yaaah udah di sini, Mbak. Nggak bisa balik lagi.”

“Kita terlambat sedikit sih tadi,” sela seseorang yang duduk di bangku paling belakang. “Keburu kena macet.”

Prima menepuk-nepuk bagian bawah matanya yang sedikit mengilap karena minyak. Ia butuh membubuhkan rias wajah baru untuk penampilan yang sempurna di acara Apresiasi Musik Indonesia nanti.

“Dwi, tisu!” pinta Prima dengan menadahkan tangannya.

Lihat selengkapnya