“Ayo, sana. Berangkat!” usir Sam.
Dwi pun buru-buru menyusul Yulia dan Meisye yang sudah duduk rapi di jok tengah mobil. Ketika ia ingin bergabung dengan keduanya di bagian tengah kendaraan tersebut, tahu-tahu Yulia menutup pintu mobil.
Dwi mengedikkan bahu dan beralih ke jok penumpang di bagian depan.
Mobil yang dikendarai oleh Pak Yono pun berlalu dari lapangan parkir yang sepi.
***
Berbanding terbalik dari lapangan parkir yang supersepi, Pak Yono sedang berjuang menembus kerumunan para pejalan kaki yang berjalan santai. Mereka semua menuju tempat yang sama. Kompleks gedung olahraga yang malam itu menjadi tempat penyelenggaraan Apresiasi Musik Indonesia.
“Pak Yono, tinta bisikan capcus wak?” tanya Meisye dari kursi tengah. Penata gaya pribadi Prima itu menanyakan apakah mobil yang dikendarai oleh Pak Yono tidak bisa berjalan lebih cepat lagi?
“Walah, apaan tuh?” balas supir Prima yang melongo mendengar pertanyaan Meisye.
“Stuck gini, Pak. Nggak ada jalan lain?” kata Yulia mengambil alih pembicaraan.
“Yaah, gimana ya Mbak. Kalau mau ke parkiran ya memang harus lewat sini.”
“Kita bisa terlambat kalau begini,” balas Yulia.
Dwi yang duduk di samping Pak Yono hanya mampu diam. Ia adalah anak baru dalam tim Prima Utama. Jangankan punya ide mengatasi masalah kemacetan Jakarta malam itu, ia saja tidak tahu berada di mana tepatnya mereka saat itu.
“Uuuh, ya udah deh. Kita turun di sini aja,” kata Meisye.
“Tapi ini belum di parkiran backstage,” bantah Yulia.
“Honey, macet kayak gini bisa-bisa sampai Subuh kita baru sampai ke parkiran backstage. Udah, buruan beresin barang-barang.”
“Turun di sini?” tanya Yulia.
“Benar di sini, Mbak? Ramai begini.”
“Eeeh tintalah hai, Pak,” kata Meisye menyelanya.
Dwi dan Pak Yono saling berpandangan dan tersenyum menahan geli. Mereka berdua tidak mengerti satupun kalimat yang keluar dari mulut Meisye.