Para hadirin, malam semakin larut, tapi Apresiasi Musik Indonesia bertambah meriah. Abu Deli mengajak Anda untuk menantikan siapa musisi tanah air selanjutnya yang meraih penghargaan malam ini. Benar, pemirsa. Anda juga tidak akan mau melewatkan kejutan manis yang telah kami persiapkan di akhir acara nanti. Hm, jadi penasaran Diandra. Tentu saja, setelah yang mau lewat berikut ini yaaa….
Sam terdiam sebentar. Sebagai manajer, ia sudah tahu sikap keras kepala penyanyi asuhannya itu. Namun, ia juga paham kalau Prima Utama adalah seorang yang perfeksionis. Tingkah laku penyanyi itu saat ini hanyalah didasarkan atas rasa frustasi karena tidak mampu memberikan yang terbaik. Sam wajib menyusul Prima. Ia harus mengingatkan penyanyi itu bahwa tidak apa-apa sesekali tidak sempurna.
Di pintu, ia berpapasan dengan Armilla Lestari, penyanyi yang berbagi ruangan dengan Prima Utama. Sam menyunggingkan senyum tipis. Sebenarnya bukan ditujukan untuk Armilla. Senyum itu adalah senyum miris. Ia membayangkan betapa marahnya Prima nanti kalau tahu dirinya berbagi ruangan dengan penyanyi baru yang sedang viral di mana-mana itu.
Sam tidak perlu jauh-jauh mencari Prima. Penyanyi itu berdiri dengan menyandarkan tubuhnya di samping pintu. Wajah Prima tidak ada senyum-senyumnya. Mata gadis itu terpejam dan lengannya terlipat di dada. Fakta bahwa penyanyi itu masih berada di lokasi penyelenggaraan Apresiasi Musik Indonesia membuktikan bahwa sejatinya Prima tidak ingin menelantarkan tugasnya malam itu.
“Prima, kamu itu hebat,” kata Sam sambil meniru posisi penyanyi itu di sebelahnya.
Prima tidak menjawab apa-apa, bahkan membuka matanya saja tidak.
“Mereka tahu kalau kamu adalah penyanyi yang luar biasa. Penggemar kamu hanya ingin melihat kamu di sana, di panggung. Mereka cuma ingin mendengarkan nyanyian kamu.”
Masih dengan mata terpejam, Prima berkata, “Tapi aku nggak bisa kasih yang terbaik kepada mereka.”
“Terbaik? Siapa yang memutuskan? Kamu atau mereka? Belum tampil saja kamu sudah bilang tidak memberikan yang terbaik buat mereka? Apa kamu berencana nyanyi fals dan asal-asalan di luar sana?”
Prima membuka matanya. Sam tahu kalau perempuan itu merasa tersinggung dianggap tidak akan tampil secara maksimal di panggung nanti. Cemberut di wajahnya bertambah nyata. Sam ingin tertawa melihat wajah penyanyi yang tampak begitu menggemaskan di matanya saat itu.
“Ayolah, kamu primadona malam ini. Jangan biarkan satu hal kecil menyatakan sebaliknya,” bujuk Sam.
“Tapi –
“Mbak!” panggil seseorang yang menghentikan pembicaraan antara Sam dan Prima.
“Anda pemenang Album Terbaik. Bisa tolong ke panggung?” pinta orang itu.
Sam tersenyum. “Sudah aku bilang, kan? Primadona,” kata pria itu dengan suara perlahan.
***
Berbalik dengan kedigdayaan Prima Utama sebagai perempuan yang paling ditunggu-tunggu dalam pagelaran acara Apresiasi Musik Indonesia, di sebuah sudut gelap, Dwi sedang duduk menumpukan dagu pada tas koper aluminium. Di sekeliling gadis itu, berbagai mobil sedang terparkir rapi.
Tidak ada seseorang pun yang tampak dari jangkauan pandangannya. Sendirian di kota yang sama sekali asing baginya, tidak tahu arah, dan kondisi tubuh yang letih luar biasa, rasa-rasanya Dwi ingin menyerah saja. Ia mau pulang kampung saja. Ia ingin kembali kepada suasana rumahnya yang hangat.
Dwi melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul dua belas malam. Kalau dirinya Cinderella, ia harus segera pulang sebelum lewat tengah malam. Dipikir-pikir, Cinderella justru jauh lebih beruntung dibandingkan dirinya.
Tiga bulan bekerja sebagai asisten pribadi seorang diva terkenal, nasibnya selalu kena omelan. Apapun yang ia lakukan selalu tidak benar di mata Prima Utama. Gadis itu juga selalu merendahkannya dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati. Lalu, satu fakta yang mengiris hatinya bagai sembilu adalah….