“Tujuannya ke mana, Neng?”
Pertanyaan supir taksi itu membuat Dwi mengalihkan pandangannya dari belakang mobil ke arah depan. Ia belum siap menjawabnya. Jantung Dwi masih berdegup kencang karena ketakutan dengan pria bermata merah yang mengikutinya tadi.
“Neng?” tanya Pak Supir lagi. Ini kali mencoba menatapnya dari kaca spion.
Dwi tahu ia harus segera menjawabnya. Pikirannya yang kalut mencegahnya untuk memberikan alamat Prima Utama. Oleh karena itu, rumah kontrakan Santi yang keluar dari mulutnya.
***
Taksi yang ditumpangi Dwi sampai di depan sebuah rumah kontrakan tiga petak. Ia mencangklong tas ransel dan mengangkat koper berkaver aluminium yang mengilap.
Datang ke alamat itupun adalah pertaruhan Dwi. Pasalnya, belum tentu Santi masih tinggal di rumah itu. Santi adalah teman SMA-nya. Sewaktu lulus sekolah, Santi tinggal di Jakarta untuk fokus belajar demi masuk ke perguruan tinggi incarannya. Sekali waktu, Dwi bertemu dengannya sebelum pindah ke Amerika Serikat. Rumah inilah tempat pertemuan mereka waktu itu.
Dwi sudah mengetuk pintu tiga kali. Namun, tidak ada yang membukakan pintu. Itu sepenuhnya salah Dwi. Orang gila mana yang bertamu lewat tengah malam begini?
“Santiii,” panggil Dwi dengan suara pelan lewat kisi-kisi jendela nako. Lagi-lagi, tidak ada yang menjawab.
Dwi memutuskan menunggu selama dua menit sebelum mengetuk pintu kembali. Jika masih tidak ada yang menjawab, mau tidak mau ia harus rela duduk di lantai menunggu pagi tiba.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Berbeda dari rumah kontrakan tiga petak lainnya, rumah-rumah kontrakan di sekitarnya begitu sepi, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal, yang Dwi tahu, biasanya penghuni rumah-rumah itu akan saling menjaga. Bahkan, seingatnya seharusnya ada bapak-bapak yang bergadang semalaman di teras rumah sambil bermain kartu.
Situasi yang sepi itu menerbitkan ketakutan di kepalanya. Dwi mencoba mengetuk pintu dengan lebih kuat. Tahu-tahu, terdengar suara omelan dari dalam. Hati Dwi melonjak gembira.
“Santiii!” panggilnya.
“Siapa?” tanya seseorang dari dalam.
Belum sempat Dwi menjawab, pintu telah terbuka. Tidak pernah sebahagia itu Dwi bertemu wajah familiar dari masa lalunya itu.
***
Di sudut Jakarta yang berbeda, Runa membuka pintu rumah kontrakannya. Pelan-pelan ia masuk berusaha tidak membangunkan penghuni rumah atau penghuni rumah sebelahnya.
Rumah kontrakannya bersebelahan dengan lima rumah di sebelah kiri dan empat rumah di sebelah kanan. Sementara di depannya berjejer sepuluh rumah lagi.
Tanpa menyalakan lampu, ia melangkah menuju kamarnya. Sedetik, ia berhenti. Ia membuka pintu sebuah kamar tapi ia berubah pikiran. Ia menutup kembali pintu tersebut tanpa melongok ke dalam ruangan itu sama sekali.
Ia masih berhenti dengan menyentuhkan tangannya pada daun pintu. Kemudian, ia berujar, “Selamat tidur,” sebelum menuju ke kamar tidurnya sendiri.