Gefan menyisir rambut panjangnya dengan jari sambil terus melangkah menuju kantin. Beberapa orang yang dilewatinya langsung menyingkir, memberi jalan supaya dia tidak menabrak mereka. Gefan mengabaikan tingkah orang-orang itu. Dia tidak menyalahkan mereka. Penampilannya memang tidak mencerminkan mahasiswa yang baik. Rambut sebahu yang nyaris selalu berantakan, kemeja lusuh, jins belel, lengkap dengan sepatu kets yang sudah tidak jelas berwarna apa. Hal terutama yang membuat orang-orang itu menjauhinya adalah sebuah tato abstrak mengerikan di lehernya.
Hanya karena penampilannya seperti preman terminal, bukan berarti tingkahnya juga seperti itu. Tetapi, dia tidak merasa harus mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi dugaan-dugaan miring itu. Biar saja orang-orang berpikir sesuka mereka tentang dirinya, dia tidak peduli. Semakin banyak orang yang menjaga jarak darinya, semakin baik untuk hidupnya.
Dia berbelok memasuki kantin dan melihat sesosok gadis duduk di meja tengah. Gadis itu tampak asyik dengan handycam di tangannya sambil mengulum lolipop. Gefan menghampiri gadis itu.
“Woy!” tegurnya sambil menggebrak meja.
“Monyet bunting!” teriak gadis itu kaget. Dia menatap Gefan dongkol. “Harus, ya, ngagetin gitu?” sungutnya.
Gefan menyeringai. “Laper, Na,” ucapnya.
Lanna kembali pada handycam-nya. “Ya, makan. Ngapain ngomong sama gue? Emang muka gue mirip rumah makan Padang?”
Gefan tertawa kecil. Dia lalu berdiri untuk memesan makanan. Beberapa mahasiswa lain menyingkir saat dia mengantre, termasuk mahasiswa senior. Meskipun baru semester dua, dia sudah cukup terkenal sebagai mahasiswa paling sangar di jurusannya. Padahal, Gefan tidak pernah bersikap kasar kepada mereka.
“Nasi ayam bakarnya satu, Bu,” pesannya.
Bu Asih, salah seorang penjual di kantin, langsung membuatkan pesanan Gefan. Setelah si ibu menyerahkan pesanannya, Gefan membayar dengan uang pas, lalu kembali ke meja Lanna. Lanna masih dengan kegiatannya. Jus jambu di depan gadis itu nyaris tidak tersentuh.
Gefan menjulurkan leher sedikit ke arah handycam Lanna, lalu mencibir. Lanna sedang melihat rekaman tentang pacarnya, Arsen. “Gue nggak nyangka kalau cewek kuliahan masih ada yang minat pacaran sama anak SMA,” ledeknya sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam bakar ke mulutnya.
Lanna memelototi Gefan. “Bentar lagi dia juga bakal jadi mahasiswa!” semprotnya.
“Ya. Dan, lo udah semester tiga. Dia? Maba.”
Lanna mengabaikannya. Gefan dan Arsen tidak pernah bisa berdamai. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Yang jelas, sejak kali pertama dia memperkenalkan kedua orang itu, mereka langsung sepakat untuk saling memusuhi. Setiap kumpul bertiga, pasti ada yang menjadi bahan pertengkaran mereka. Dan, Lanna harus selalu siap menjadi penengah kedua lelaki itu.
Lanna mematikan handycam itu, lalu menyeruput jus jambunya. “Daripada lo ngurusin kehidupan cinta gue sama Arsen, kenapa lo nggak ngurusin kehidupan cinta lo aja?”
Gefan mengangkat bahu. “Nggak minat,” jawabnya, kembali berkonsentrasi pada nasi soto di depannya.
Lanna menghela napas sambil geleng-geleng kepala. “Gue nggak pernah nyangka kalau fobia cinta itu beneran ada.”
Gefan mengabaikannya.
***
Laura Fernita baru saja selesai memasang kancing terakhir kemejanya ketika ponselnya berbunyi. Dia melihat nama Delia, sahabat sekaligus teman sekelasnya di kampus, sebagai pengirim pesan. Isinya mengatakan kalau gadis itu tidak masuk hari ini karena ada pemotretan di luar kota dan menitipkan absen. Dia menyisir rambut pendeknya dengan jari, lalu mengibaskannya. Setelah memastikan penampilannya cukup layak, dia berjalan keluar kamar. Dia menemukan Rangga, kakaknya, dan orangtua mereka sudah di meja makan.
Aura menarik kursi di sebelah Rangga. “Kak, bareng, ya,” katanya. “Delia nggak masuk, tuh, mobilku juga belom ganti oli.”
Rangga mendengus. “Iya tuh anak, baru pulang beberapa hari, udah pergi lagi.”
Aura mengambil selembar roti, lalu mengolesnya dengan selai cokelat. “Karier dia lagi bagus. Bangga, dong, punya pacar model beken.”
“Yah, kalau setiap saat ditinggal, kesel juga,” gumam Rangga.
“Ajak nikah aja,” kata Mama. “Biar nggak ke mana-mana lagi.”
Rangga tersedak susu yang baru diminumnya. “Delia itu masih seumuran Aura, Ma. Dua puluh tahun juga belum. Mana mau dia nikah.”
“Mama nikah umur delapan belas. Iya, kan, Pa?”
Papa mengiyakan tanpa berpaling dari korannya.
Aura terkikik. “Coba aja kalau aku yang minta nikah, pasti dilarang.”
“Yah ..., kalau kamu dapet suami yang udah mapan, nggak bakal dilarang, kok,” kata Mama polos.
“Ada, Ma. Teman kantor Rangga naksir dia. Anaknya baik lho, Ma. Posisinya juga lumayan. Mapan, deh, secara materi. Aura-nya nggak mau,” kata Rangga.
Mama menatap Aura dengan serius. “Kamu, kok, nggak pernah ngenalin pacar kamu, sih, Ra?”
“Aura nggak pernah pacaran,” kata Rangga.