Loving Rosalie

Bella Armelia
Chapter #3

2. Tak Tersentuh

“Aku membentengi diriku, agar tak ada seorang pun yang bisa menyentuhku. Karena aku harus menjaga diriku, dari hal-hal yang mungkin akan menyakitiku.” —Rosie.

*****

Rosie POV

LANGIT sepertinya sedang enggan menampilkan penghiasnya. Di bagian manapun, tiada lilin malam yang biasanya menghias langit. Bulan pun sama, enggan menampakkan rupanya dan memilih bersembunyi di balik kelabu langit malam. Langit gelap gulita dengan warna sedikit kemerahan. Sesekali muncul kilatan yang menampilkan sekelebat cahaya lalu disusul dengan suara gemuruh. Sebentar lagi langit akan meluruhkan bebannya, itulah yang terlintas di pikiran setiap insan yang melihatnya.

Di saat seperti itu, aku masih sibuk berkutat dengan laptopku di sebuah kafe. Kafe yang biasa kukunjungi karena kopi di sini terasa lebih nikmat daripada di kafe lain. Jari-jariku menari dengan indah di atas keyboard, menciptakan kalimat-kalimat yang dapat dilihat pada layar. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini sambil mengerjakan sebuah proposal yang harus deadline besok pagi. Satu hal yang pasti, aku sudah menghabiskan lima gelas americano.

Sebenarnya aku bisa saja mengerjakan tugasnya di rumah karena fasilitas yang diberikan orangtuaku sudah memadahi, bahkan bisa dibilang sangat memadahi. Namun perselisihan antara aku dan Papa saat makan malam membuatku benar-benar malas di rumah dan memutuskan untuk pergi ke kafe.

Seorang pelayan datang memberikan minuman ke-enam yang kupesan malam ini. Setelah pelayan itu berjalan beberapa langkah, aku menyadari bahwa di gelas itu tidak berisi kopi pesananku sehingga aku memanggil pelayan dan membuat pelayan tersebut berbalik.

“Mas, ini bukan pesanan saya. 'Kan, tadi saya pesan kopi americano. Bukan hot chocolate.”

Pelayan tersebut terlihat bingung dan merasa bersalah. “Itu ... anu ... itu ...,” ucap pelayan itu gelagapan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Aku menautkan alisku hingga terlihat menyambung. “Itu ... aduh, gimana ya cara ngomongnya? Saya disuruh sama orang, Mbak.”

“Siapa yang nyu—”

“Gue yang nyuruh dia,” ucap seseorang dari belakangku. Aku dan pelayan yang tadi mengantar minumanku menoleh, melihat siapa yang bersuara. “Deno, lebih baik lo balik kerja aja. Biar gue yang ngomong sama dia.”

Pelayan bernama Deno itu pun melengang pergi. Sementara seorang cowok yang seenaknya mengganti minumanku mengambil tempat untuk duduk di hadapanku. Nathan—cowok yang beberapa hari belakangan berusaha mendekatiku. Kata Raisa, cowok itu sering memandangku diam-diam. Aku, sih, tidak peduli. Hanya saja ... merasa tak nyaman karena seperti diawasi.

“Maksud lo apa ganti minuman gue?” tanyaku to the point sambil memasang wajah garangku.

Cowok tersebut—Nathan—meringis. “Nggak baik kebanyakan minum kopi. Gue udah merhatiin lo dari tadi, dan lo udah minum terlalu banyak,” jawab Nathan tak kuhiraukan. Ini namanya tidak sopan, bertindak semena-mena, menyebalkan!

Apa tadi yang dia katakan? Dia sudah memerhatikanku sejak tadi? Sialan! Cowok itu benar-benar membuatku tak nyaman. Aku tak suka diperhatikan secara diam-diam. Apalagi, yang memerhatikanku adalah cowok yang tak kukenal. Di luar sana banyak kasus pembunuhan oleh orang tak dikenal. Oke, mungkin aku berlebihan. Tapi, waspada itu perlu, bukan?

Aku kembali memfokuskan diri pada proposal yang tengah kugarap. Masa bodoh dengan Nathan yang masih memerhatikanku, deadline sedang menuntutku untuk tidak mengacuhkannya. Meskipun jujur saja, keberadaanya sedikit—well, sangat—membuatku risi. Nathan memperburuk mood-ku yang sudah membaik setelah perselisihanku dengan Papa.

Ponselku berbunyi, melantunkan instrumen lagu Joke's On You milik Charlotte Lawrence. Aku melihat nama Nara tertera di layar. Aku pun mengangkat panggilan tersebut dengan malas. “Hmm ... di kafe biasa ... bentar lagi selesai ... biarin aja, sih. Biasanya juga gitu ... yaudah, lo jemput gue ... suruh pak Jo yang antar,” ucapku kemudian menutup telepon secara sepihak.

Aku menghela napas lelah. Baru saja Nara memberitahu kalau Papa mencariku. Pria setengah baya—yang menurutku—selalu menggunakan alasan klise hanya untuk menyuruhku pulang. Papa mengancam akan mengusir Nara dari rumah. Tentu saja aku tahu, ia tak akan melakukannya. Terlebih lagi, Nara sudah ia adopsi sebagai anak setelah Bi Inah—ibu Nara yang dulu menjadi pekerja di rumahku—meninggal dunia. Tapi, Papa selalu menggunakan ancaman itu karena ia juga tahu, hanya Nara temanku di rumah. Tanpa Nara, aku pasti akan sangat kesepian.

Aku menyimpan data yang selesai kukerjakan di flashdisk sebelum akhirnya mematikan laptop. Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Namun, Nathan yang masih setia memerhatikan tiap gerak-gerikku memberikan kode kepada pelayan agar tidak mendekat. Apa-apaan cowok ini??!

Lihat selengkapnya