“Itu kotor!”
Tubuh kecil Tyas tersentak saat ia mendengar seseorang berteriak. Dengan wajah merengut, ia berbalik sambil menepuk-nepuk tangannya yang dipenuhi tanah merah. “Kamu ngomong ke aku?” tanyanya kepada seorang anak perempuan yang bertubuh sedikit lebih pendek darinya.
Anak itu berdiri cukup jauh dari Tyas dan kawan-kawan. Penampilannya yang terlihat cukup rapi dengan gaun terusan kuning lembut bercorak bunga tipis semakin membuatnya terlihat lebih menonjol dibandingkan anak-anak lainnya. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam tanpa menanggapi pertanyaan Tyas.
“Lita, kamu gak tahu ini apa?” Tyas kembali bertanya. Meski sebal, ia tetap tersenyum lebar.
Lita akhirnya mengangguk sambil mengernyitkan keningnya. Telunjuk mungilnya menunjuk tangan Tyas. Ekspresinya seolah-olah mengatakan bahwa apa yang dilihatnya adalah benda paling menjijikkan di dunia.
Buru-buru Tyas mengambil beberapa buah berwarna hijau kekuningan yang ada di tangan teman-temannya lalu menghampiri Lita. Melihat pakaian Lita dari dekat sempat membuat Tyas memeriksa bajunya sendiri yang telah sedikit berlubang karena sering tersangkut ranting pohon setiap kali ia bermain di kebun. Tanpa sadar ia mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak dengan anak perempuan di depannya.
Tyas menyingkirkan debu dan tanah yang menempel pada kedua buah yang baru saja terjatuh dari pohon itu, sebelum memberikannya kepada Lita. “Ini buah belimbing. Kalau dipotong, bentuknya bakal jadi kayak bintang. Minta potong aja ke Ibu.”
Lita menggelengkan kepala. “Gak mau.”
“Coba dulu. Pasti kamu bakal suka.”
“Nggak!” Tiba-tiba Lita menangis histeris dan menepis tangan Tyas dengan keras. Dua buah belimbing yang malang pun lantas terjatuh ke atas tanah. Tyas yang terkejut hanya bisa memandang dengan mulut menganga.
“Udah biarin aja, Tyas. Nanti dia nangis!” Salah satu teman berteriak dengan geram, disusul oleh anak-anak lainnya yang tampak muak dengan Lita. “Dia gak mau main sama kita, kenapa masih kamu deketin?”
Tyas menarik napas dalam hingga dadanya terlihat mengembang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya selagi matanya terpejam untuk sesaat. Meski masih berusia 6 tahun, Tyas selalu dikagumi oleh para tetangganya atas sikap dewasa serta kesabarannya yang melebihi usianya. Hampir tidak pernah ada orang yang pernah menyaksikannya menangis atau mengamuk seperti anak-anak kecil lainnya. Hanya saja, tidak ada orang yang sudi untuk memujinya selain ibunya sendiri.
Tyas kecil belum bisa mengerti mengapa banyak orang dewasa tidak menyukainya dan sering memarahi anak-anak yang bermain dengannya. Meski merasa sedih, ia tidak pernah terlalu memikirkan itu dan hanya terus menjalani hari seperti biasanya. Namun, sikap Lita yang terus menolak kebaikan darinya mulai membuat Tyas meradang.