Ranti yang masih memandang ke arah di mana mobil Nek Batari menghilang lantas terkejut mendengar pertanyaan Tyas. Ia meraih kedua tangan anaknya itu. “Tentu saja kalian bersaudara. Tenang saja, Lita tinggal dengan Nek Batari cuma sementara. Lita akan segera tinggal bersama kita lagi. Ibu janji.”
Tyas mengerucutkan bibir. “Kalau gitu, kenapa aku gak tinggal sama Nenek juga?”
“Tyas mau ninggalin Ibu? Nanti Ibu sedih, loh.” Ranti mengatakan itu dengan sedikit merengek. Tidak peduli dengan posisi mereka yang masih berada di pinggir jalan, ia berjongkok dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Berpura-pura menangis dengan sedikit dilebih-lebihkan.
Meski tahu ibunya hanya sedang bersandiwara, Tyas tetap merasa tidak enak dan berusaha membujuk Ranti untuk kembali berdiri. Sang ibu akhirnya setuju dengan syarat Tyas mau tidur dengannya malam ini.
“Ibu kayak anak kecil!” protes Tyas setelah mereka kembali masuk ke dalam rumah.
“Kamu yang terlalu cepat dewasa,” balas Ranti sambil membereskan cangkir-cangkir berisi teh yang hampir tidak disentuh oleh Nek Batari dan Lita. “Ibu gak mau kamu cepat-cepat besar. Tetaplah jadi anak Ibu yang menggemaskan.”
“Gak mau.” Tyas merebut salah satu cangkir dari tangan Ranti. “Aku harus cepat besar biar bisa bantu Ibu. Aku juga mau beli rumah bagus sama mobil yang lebih mahal dari punya Nenek. Biar Nenek gak marahin Ibu lagi!”
Ranti tersenyum lembut mendengar itu. Wajah cantiknya yang selalu terlihat menenangkan kini terlihat jauh lebih damai dari biasanya. Ia mengembalikan cangkir teh ke atas meja dengan hati-hati, tidak ingin cairan kecokelatan itu mengotori baju terbaik miliknya yang sengaja ia pakai untuk hari ini. “Maksud Nenek itu baik, Tyas. Nenek cuma mau ngasih yang terbaik untuk kamu sama Lita.”
“Bukan buat aku, Tapi buat Lita aja.”
“Tyas … apa pun yang terjadi, kamu gak boleh benci sama adikmu.” Ranti mengusap pipi Tyas penuh sayang. “Sabar sedikit, sebentar lagi kita akan kembali menjadi keluarga yang utuh. Ibu hanya perlu berjuang sedikit lagi untuk meyakinkan nenekmu bahwa Ibu sanggup membesarkan dua anak.”
Tyas akhirnya menganggukkan kepala, ia selalu memercayai setiap ucapan ibunya.
Mereka menjalani sisa akhir pekan dengan melakukan kegiatan sehari-hari seperti mencuci piring dan beres-beres rumah. Lebih tepatnya, Ranti yang melakukan pekerjaan rumah tangga sementara Tyas berusaha membantunya dari samping meskipun ia justru memperlambat pekerjaan ibunya.