“Aduh, Tyas ….”
“I-iya, Bu. Kenapa?”
Tyas terus menggigit bibir bawahnya karena cemas. Ibunya terlihat begitu pucat dan kehilangan tenaga, membuatnya khawatir bukan main. Kepalanya terasa sakit saat ia memaksa otaknya memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ini.
Setiap kali badannya panas, ibunya selalu merawatnya dengan telaten, tetapi Tyas tidak ingat apa saja yang biasa Ranti lakukan kepadanya. Apa mungkin ia langsung saja menghubungi ambulans? Berapa nomor darurat Rumah Sakit? Berapa pulsa yang harus ada di ponsel ibunya jika ia ingin melakukan itu? Apa Rumah Sakit akan mau menerima telepon dari anak SD sepertinya?
Tepat di saat Tyas akan bangkit untuk mencari telepon genggam ibunya, Ranti mengerang pelan lalu berdiri tegak tanpa masalah, seakan-akan ia tidak pernah terkulai lemah sebelumnya. “Dapur kita panas sekali. Rasanya Ibu hampir pingsan karena dehidrasi,” ucapnya sambil meregangkan kedua tangannya ke atas.
Tyas mengerutkan kening mendengar itu. “Jadi, Ibu cuma kepanasan?”
Ranti mengangguk. “Dapur beratap seng memang pilihan yang salah.”
“Kalau begitu ganti atapnya!” teriak Tyas. Gadis kecil itu menarik rambutnya sendiri, persis seperti orang dewasa yang tengah frustrasi. “Ibu bikin aku takut! Kukira Ibu sakit parah!”
“Apa? Tentu saja Ibu tidak sakit. Ibu harus tetap sehat agar tidak merepotkan kamu,” jawab Ranti dengan lembut. Ia menyeka keringat dari wajahnya sebelum tersenyum kepada Tyas. “Tapi Ibu senang kamu mengkhawatirkan Ibu. Terima kasih, ya.”
Ucapan Ranti sukses membuat Tyas terdiam. Pipi anak itu perlahan-lahan memerah. Ia lantas memalingkan wajah dan berkata dengan ketus. “Gak tahu, ah! Pokoknya jangan kayak gitu lagi! Aku marah!”
Gadis itu pergi menuju ke kamarnya dengan mengentakkan kaki, mengabaikan panggilan ibunya serta barang belanjaan yang ia tinggalkan begitu saja di atas lantai. Ia membanting pintu kayu kamarnya yang sudah mulai lapuk, Serpihan kayu dari beberapa lubang di pintu itu berhamburan ke atas lantai.
Ranti menyaksikan semua itu dengan perasaan yang campur aduk. Selama enam tahun membesarkan Tyas, ia tahu bahwa anaknya itu mempunyai temperamen yang jauh berbeda dengannya. Tyas mudah marah dan sulit sekali mengekspresikan kasih sayang. Ranti sendiri kesulitan untuk tidak merasa sakit hati dengan sikap anaknya itu, tetapi hari ini ia dapat melihat dengan jelas bahwa alasan di balik kemarahan Tyas adalah kekhawatiran gadis itu terhadap sang ibu.
Pada dasarnya, Tyas adalah anak yang baik, tetapi lingkungan tempatnya tinggal membuatnya tumbuh menjadi anak yang sedikit keras dan ketus. Ranti selalu menyalahkan dirinya sendiri yang belum bisa menjadi sosok Ibu yang dibutuhkan oleh Tyas.
Ibu tunggal itu terdiam di depan pintu kamar Tyas selama beberapa menit, mencoba mendengarkan suara yang terdengar dari dalam. Setelah memastikan bahwa Tyas tidak menangis, ia akhirnya berjalan ke dapur sambil membawa garam yang telah Tyas beli. Berniat untuk kembali melanjutkan kegiatan memasak yang sempat tertunda.