Tyas tidak menjawab dan membuang sobekan tugas miliknya ke atas lantai ubin. Menginjaknya dengan kaki tanpa melepas sepatu hitam usangnya. Dalam sekejap, kertas-kertas malang itu dihiasi oleh jejak sepatu penuh tanah.
Panik, Ranti menghampiri sang anak dan mencoba menenangkannya. Kedua tangannya meraih tubuh kecil Tyas untuk dipeluk, tetapi Tyas langsung berontak.
“Tugas bodoh! Cuma demi karya jelek ini Ibu harus menggoreng semua telur yang kita punya!” teriak gadis itu. “Kenapa Ibu susah-susah bantuin aku kemarin? Padahal jadinya aku tetap diejek teman-teman!”
Kedua mata Ranti berkaca-kaca mendengar itu. “Ke-kenapa kamu diejek? Apa yang salah?”
“Punya temanku semuanya berwarna-warni. Mereka bisa bikin pelangi dengan cat yang banyak!” Tyas bersedekap sambil menatap Ranti dengan marah. “Punyaku lebih bagus dari punya mereka! Tapi teman-teman bilang, mereka bisa nyium bau sampah dari hasil karyaku!”
“Tyas, mereka cuma bercanda ….”
“Bu Guru juga ikut ngetawain!”
“Kalau begitu, Bu Guru juga salah. Harusnya Bu Guru lebih menghargai hasil kerja anak muridnya.” Susah payah Ranti berusaha untuk tegar. Ia tidak akan bisa menenangkan Tyas jika ia sendiri kesulitan mengendalikan emosinya. “Tyas, tenang dulu, ya. Kalau kamu hari ini gak mau sekolah dulu, gak apa-apa. Sekolah lagi besok.”
Tyas menarik napas dalam-dalam. Kedua matanya yang memerah melirik ke arah meja kecil yang ada di dekatnya. Satu piring berisi beberapa potong telur goreng yang masih tersisa cukup banyak membuatnya merasa semakin marah. Ia langsung menghampiri dan menarik taplak meja tersebut hingga seluruh benda di atasnya berjatuhan.
“Buang aja semua telurnya! Aku gak mau makan lagi!”
Setelah itu, ia berlari ke luar rumah tanpa arah tujuan. Menghindari ibunya yang mungkin merasa sakit hati dengan sikapnya. Tyas merasa begitu bersalah, tetapi dirinya yang masih terlalu muda tidak tahu apa yang harus ia lakukan di saat seperti ini. Ia hanya tahu bahwa ia tengah merasa begitu sedih dan kecewa, sehingga terus melontarkan kata-kata tajam kepada ibunya sendiri. Oleh karena itu, Tyas pikir ia harus menjauh dari Ranti untuk sementara waktu, seperti yang biasa Ranti lakukan setiap kali ibunya itu terlihat seperti ingin menangis.
Apa yang Tyas tidak pernah sangka sebelumnya adalah bagaimana satu tindakannya itu mampu mengubah semuanya. Sejak hari itu, hubungannya dengan sang ibu tidak lagi sama.
Tidak ada lagi waktu kebersamaan yang dipenuhi canda dan tawa. Semuanya digantikan oleh suasana menyesakkan serta kecanggungan di antara mereka berdua. Lebih tepatnya, Tyas yang selalu merasa tidak enak hati kepada ibunya.
Semakin hari, tugas yang Tyas dapat dari sekolah semakin beraneka ragam dan semakin sulit untuk dikerjakan. Bahkan satu waktu, ia mendapat tugas untuk membawa bunga anggrek yang cukup mahal untuk diletakkan di kelas. Tyas ingat bagaimana Ranti harus bekerja sampai malam selama satu minggu penuh demi bisa membeli bunga itu.