“Kayaknya aku benar-benar anak sial. Bukan cuma Nenek, Ayah juga tidak suka padaku,” pikir Tyas yang kini mengurung diri di kamar setelah mengunci pintu rumah. Ranti telah pergi bekerja sejak pagi buta, entah kerja apa dan di mana, Tyas tidak pernah diberi tahu. Sementara Tyas sendiri masih memilih bolos sekolah karena malas berhadapan dengan teman-temannya yang terus mengejeknya. “Kasihan sekali Ibu yang masih harus membesarkan aku sampai beberapa tahun lagi. Apa gak ada yang bisa aku lakukan?”
Gadis itu memandang sebuah piagam penghargaan yang ditempel di dinding. Ia memperoleh piagam itu karena berhasil menjadi salah satu kelompok bazar yang mendapat keuntungan terbesar setelah berjualan di festival sekolah. Meski bekerja dalam kelompok, sesungguhnya Tyas hampir melakukan semuanya seorang diri, bertekad untuk mendapat banyak uang yang bisa ia gunakan untuk membantu Ranti.
Hasilnya lumayan. Di hari itu, Tyas dan Ranti dapat memakan ayam goreng hingga perut mereka kekenyangan. Sungguh mengagumkan bagaimana sedikit uang tambahan bisa membuat hubungan mereka kembali hangat meski hanya sementara. Setelah itu, Tyas tidak lagi bisa leluasa berbincang dengan Ranti, apalagi kini Ranti selalu pulang dalam keadaan sangat kelelahan.
Seandainya, beban sang ibu bisa dipikul juga oleh Tyas.
Tyas berpikir sejenak sebelum air mukanya mendadak berubah menjadi lebih cerah. Ia segera bangkit dan menggunakan mantel yang bagian lengannya telah dipotong pendek sebelum berlari ke luar rumah. Dalam waktu singkat, ia telah berdiri di depan sebuah warung yang telah lama tidak ia kunjungi sejak tujuh tahun yang lalu.
Wanita yang menjaga warung itu telah terlihat jauh lebih tua. Ia juga tidak lagi mempunyai cukup energi untuk mencibir Tyas dan hanya terus merapikan barang-barang dagangannya yang jauh lebih sedikit dari beberapa tahun lalu. Tidak ada lagi sekumpulan perempuan yang nongkrong di tempat itu. Tyas menjadikan pemandangan itu sebagai salah satu penyemangatnya untuk menjalankan rencana.
“Bu, apa Ibu mau berbisnis denganku?” tanya Tyas langsung pada intinya. “Ibu kasih aku modal, dan aku yang akan bekerja menghasilkan uangnya. Aku dengar warung Ibu sudah lama tidak laku karena makin banyak saingan. Jadi, kupikir ini tawaran yang cukup bagus, kan?”
Sekelebat ekspresi tidak suka terlihat di wajah wanita itu, tetapi kemudian ia menatap Tyas dengan tajam. “Cuma karena ibumu telah berhasil membayar semua utangnya padaku, bukan berarti kamu bisa seenaknya. Cepat pergi dari sini! Orang-orang tidak akan mau datang kemari kalau kamu terus berdiri di sini.”
Tyas mendecakkan lidah mendengar itu. Ia sungguh tidak bersikap seperti anak SMP pada umumnya, hingga sempat membuat perempuan di hadapannya ternganga. “Jadi, gak mau, ya? Ya, sudah,” ucap anak itu dengan santai sambil berbalik untuk pergi.
“Tu-tunggu dulu! Katakan dulu rencanamu!”
Senyum puas langsung tersungging di bibir Tyas.
***