Tanpa memedulikan Lita yang masih tertidur di atas kasur, Tyas mengambil beberapa bajunya di dalam lemari. Dengan kasar menendang pintu lemari kecil itu hingga menimbulkan suara berderit dan benturan yang cukup keras. Ia sungguh tidak peduli jika Lita terbangun karenanya. Ia justru ingin Lita tahu bahwa kini ia sedang bersiap untuk pergi karena tidak sudi hidup bersama dengan adiknya itu.
“Sudah jelas Ibu akan memilih siapa,” gerutu Tyas sambil mengemas barang bawaannya ke dalam tas sekolah. “Apa yang aku harapkan? Sejak dulu, aku hanya anak kampung urakan yang tidak bisa dibanggakan oleh siapa pun. Ibu merawatku karena merasa bertanggung jawab, bukan karena menginginkanku.”
Di luar pintu kamar yang terkunci, Ranti terus memanggil nama Tyas. Memintanya untuk keluar dan membicarakan semuanya dengan baik-baik. Namun, Tyas terus mengabaikan sang ibu. Ia mempercepat gerakannya dan tanpa sengaja menjatuhkan beberapa buku tulis ke atas lantai.
“Mau ke mana?”
Tyas memicingkan mata ke arah Lita yang kini menatapnya. Adiknya itu kembali berbicara tanpa ekspresi. “Jangan gegabah, Kak. Tidak akan ada orang yang mau menerimamu di luar sana. Tetaplah di sini meskipun menyakitkan.”
Tyas tertawa meremehkan. Menyembunyikan betapa terkejutnya ia mendengar Lita memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’. “Kamu tidak berhak mengatakan itu. Kamu pikir kenapa aku ingin pergi?”
“Karena kamu takut akan terus dibandingkan denganku jika aku tinggal di sini,” jawab Lita dengan tenang. Gadis itu sungguh jauh berbeda dengan gadis kecil cengeng yang selalu Tyas ingat. “Sungguh kekanak-kanakan.”
“Aku tidak pernah takut dibandingkan, aku hanya muak!” Tyas menyanggah dengan berapi-api. Ia mendekati sosok adiknya yang masih terbaring di atas tempat tidur. “Aku muak melihat Ibu selalu tunduk kepadamu dan Nek Batari. Memohon kasih sayang dan perhatian yang tidak pernah kalian tunjukkan kepadanya. Kalian selalu memandang rendah kami, tapi sekarang apa? Kamu akan tinggal di sini karena sakit parah? Jangan harap aku mau merawatmu!”
Setelah puas mengatakan semua itu, Tyas mengambil tas sekolahnya yang telah penuh oleh baju, buku, serta keperluannya yang lain, lalu pergi membuka pintu kamar. Ranti yang masih berada di depan pintu lantas meraih kedua tangannya untuk menahannya, tetapi Tyas menepis dengan kasar.
“Untuk sementara ini, aku akan tinggal di ruang OSIS sekolah, atau musala. Aku tidak peduli.” Tyas berbicara sambil terus berjalan menuju pintu keluar. Tidak satu kali pun ia menoleh ke arah Ranti yang kini menangis tanpa suara. “Tenang saja, sesekali aku tetap akan mengabari dengan menelepon ke ponsel Ibu menggunakan ponsel siapa pun yang bisa kupinjam. Biar bagaimanapun, Ibu adalah satu-satunya ibuku, meskipun aku bukan satu-satunya untuk Ibu.”
Ranti hanya terdiam mendengarkan kata-kata perpisahan dari Tyas. Sebesar apa pun keinginannya untuk menahan sang anak, tubuhnya tidak kunjung bisa bergerak. Seolah-olah setiap sendinya telah terikat kuat oleh tali yang tidak kasat mata. Hanya kedua bola matanya yang terus bergetar melihat anak sulungnya menghilang di balik pintu. Suara langkah Tyas berangsur-angsur menghilang di balik keheningan malam.