Setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, Ranti pun begitu. Bukan hanya untuk Tyas, selama ini ia juga bekerja keras demi bisa mengambil kembali Lita dari tangan Nek Batari. Namun, waktu berjalan begitu cepat tanpa ampun. Beberapa tahun telah berlalu dalam sekejap mata, dan tabungan harta yang Ranti idam-idamkan tidak kunjung terwujud.
Ranti tidak pernah mengatakannya kepada siapa pun, terutama kepada Tyas, bahwa ia hampir saja menyerah. Lita mungkin akan selamanya tinggal bersama Nek Batari dan sepenuhnya melupakan Ranti dan Tyas. Sungguh berat Ranti menerima kenyataan ini, tetapi ia tetap tabah dengan berpikir bahwa memang semuanya untuk kebaikan Lita. Biar bagaimanapun, ia tidak bisa memberikan anak bungsunya banyak hal seperti Nek Batari.
Pikiran-pikiran buruk ini terus menghantui Ranti hingga ia seringkali jatuh sakit. Oleh karena itu, saat ia mendapati Lita berada di rumahnya, Ranti senang bukan main sampai hampir lupa diri. Tyas bahkan sempat pergi dari rumah karena ketidakmampuan Ranti untuk mengatasi semuanya dengan benar. Beruntung, anak sulungnya itu cukup berbesar hati untuk kembali ke rumah.
Sayangnya, lagi-lagi Ranti menemui jalan buntu. Ia sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat wajah Tyas tampak memerah menahan amarah.
“Jadi, kenapa tadi kamu berteriak? Coba katakan sekali lagi!” Sang gadis tomboi bertanya kepada Lita yang masih berbaring dengan kedua tangan melipat di bawah kepala. Ranti menatap keduanya secara bergantian dengan kebingungan.
Lita mendengkus kesal. “Aku kepanasan tapi ingin pakai selimut. Apa sungguh tidak ada AC di sini? Tidurku akan lebih nyenyak kalau suhu kamarnya lebih dingin."
“Tidak ada AC. Satu-satunya kipas angin di rumah ini juga sudah rusak. Malam ini tidak sepanas itu, jadi kamu tinggal melepas selimutmu saja.”
“Kubilang aku ingin pakai selimut!”
“Kalau begitu kamu harus siap kepanasan!”
Ranti segera mengangkat kedua tangannya. Dengan efektif menghentikan perdebatan di antara kedua anaknya. Kelelahan, ia lantas berbicara dengan lirih. “Ibu mohon kalian jangan bertengkar lagi. Biar Ibu carikan kipas angin besok pagi. Tahan dulu untuk malam ini, ya.”
Lita terdiam mendengar itu, sementara Tyas tampak siap untuk protes. Ranti menatap anak sulungnya itu lembut, memohon dalam diam. Tanpa satu kata pun terucap, Tyas langsung mengerti bahwa keputusan ibunya sudah tidak lagi bisa diganggu gugat.
Gadis itu lantas mendesah kecewa. “Ibu tidur di kamarku saja. Aku akan tidur di kursi,” ucapnya pelan sambil berlalu.
Ranti menganggukkan kepala meski Tyas tidak lagi melihat ke arahnya. Ia sungguh keberatan membiarkan anaknya tidur di kursi yang keras dan tidak nyaman, tetapi ia tahu betapa Tyas menyayanginya dan hanya ingin menjaganya. Ranti tidak mau mengecewakan gadis itu lebih dari yang sudah ia lakukan.
Malam berjalan lebih lambat dari biasanya. Ranti mendapati dirinya kesulitan untuk sekadar memejamkan mata. Kantuk baru mendatanginya di saat fajar mulai menyingsing.
Ia akhirnya bangun dan menyiapkan sarapan tanpa membangunkan Lita maupun Tyas yang masih tertidur pulas. Isi lemari makanan yang mereka miliki tidak banyak, sehingga Ranti hanya bisa menggorengkan satu telur yang dipotong jadi dua untuk kedua anaknya. Ia sendiri hanya memakan satu buah pisang yang diberikan tetangga beberapa hari lalu.