Dengan lihai Tyas meremas cucian yang telah berkali-kali ia bilas. Menumpuknya ke dalam beberapa ember kecil lalu membawanya ke luar rumah untuk dijemur. Embusan napas lelah berkali-kali lolos dari bibirnya, ia juga merasakan pegal-pegal di bagian pinggang. Namun, belum waktunya untuk mengeluh. Masih ada pekerjaan lain yang menunggunya.
“Cucian, masakan, semuanya bertambah dua kali lipat. Padahal jumlah orang di rumah ini hanya bertambah satu,” keluh gadis itu sambil menyeka keningnya yang basah oleh keringat. Ia membasuh wajahnya setelah mencuci tangan dengan bersih, lalu berjalan ke arah meja. Ekspresinya melembut setelah ia melihat masakan ibunya di balik tudung saji. “Padahal Ibu berangkat sangat pagi. Sempat-sempatnya memasak untuk kami.”
Tyas sempat berniat membangunkan Lita untuk mengajaknya sarapan bersama, tetapi kemudian ia mengurungkan niat itu dan lebih memilih untuk makan sendirian. Selain karena ia tidak tega membangunkan adiknya yang terlihat masih tertidur pulas, ia juga tidak yakin mereka akan bisa makan bersama tanpa bertengkar.
Makan dalam keheningan membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Begitu banyak hal yang gadis itu pikirkan, mulai dari konsekuensi yang kemungkinan besar akan diterimanya karena sering membolos sekolah, kegiatan belajar serta berjualannya yang terganggu sejak kedatangan Lita, hingga kekhawatirannya kepada Ranti yang kini harus bekerja jauh lebih keras. Semua itu membuat Tyas bersedih, tetapi ada satu hal lain yang paling menyesakkan hatinya.
Yaitu bagaimana kenangannya semasa kecil bersama Lita terasa begitu indah dan berharga saat ini, karena kini hubungannya dengan Lita telah rusak hingga rasanya tidak mampu lagi untuk diperbaiki.
“Dulu dia adalah adik kecilku yang manis,” gumam Lita kepada dirinya sendiri. “Seandainya ingatanku lebih bagus dan kuat, aku mungkin bisa mengingat sosoknya yang jauh lebih muda. Sayang, ingatan terjauh yang kumiliki adalah saat aku berusia lima tahun dan Lita tiga tahun.”
Di masa itu Tyas dan Lita selalu bepergian bersama layaknya sepasang anak kembar. Semua orang yang mereka lewati akan menatap dengan gemas dan meminta izin kepada Ranti untuk menyentuh pipi mereka. Tyas akan bersikap layaknya seorang kakak dengan berdiri di depan Lita, melarang semua orang mendekati adiknya.
Setiap kali Ranti membawa mereka berdua ke tempat bermain, Tyas akan berkenalan dengan banyak anak seumurannya dan memperkenalkan Lita kepada mereka dengan bangga. Mereka akan bermain bersama tanpa ragu hingga salah satu di antaranya akan terjatuh dan menangis keras. Lita jauh lebih sering terluka dari Tyas, jika sudah begitu, ia hanya akan melihat bagaimana Ranti mengobati luka Lita dengan telaten.
Waktu bertahun-tahun yang telah berlalu mengubah banyak hal kecuali satu, yaitu kasih sayang Ranti kepada kedua anaknya. Tyas merasa sangat bersalah terus membiarkan Ranti merawat Lita seorang diri. Mungkin kali ini ia bisa membantu meskipun sedikit?
Tepat setelah Tyas memikirkan itu, ia mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh dan mendapati Lita keluar kamar dengan tertatih. Sesekali adiknya itu berhenti dan hanya mengatur napas sebelum kembali melangkah ke arah dapur.
Kening Tyas mengerut. “Apa kamu lapar? Kemarilah, Ibu sudah menyiapkan sarapan. Biar aku ambilkan minum.”
Lita hanya mengangguk dan mengubah arahnya menjadi ke arah meja makan. Ia tampak tidak mempunyai energi hingga tidak sanggup untuk sekadar menolak tawaran Tyas. Hal itu tidak luput dari penglihatan Tyas.
Gadis tomboi itu mengambil sebuah gelas dan teko dengan cepat, menyimpannya di atas meja lalu kembali ke sisi Lita yang tidak kunjung menyelesaikan perjalanannya. “Apa ada yang sakit? Kenapa jalanmu lamban sekali?”
“Aku hanya kelelahan,” jawab Lita singkat. Sesampainya di dekat meja makan, ia segera mendudukkan diri di atas kursi yang sebelumnya ditempati Tyas.
Tyas duduk di sampingnya sambil mendorong sepiring nasi ke arahnya. “Hanya ada ini. Jangan berpikir untuk meminta menu lain karena aku sedang tidak ingin memasak untukmu.”