“Paket ayam krispi originalnya dua, untuk dibawa pulang, ya. Baik, pesanan akan segera saya siapkan.” Suara Tyas mulai serak karena harus berbicara hampir seharian tanpa istirahat yang layak, tetapi sebisa mungkin ia tetap memberikan pelayanan yang ramah dan cekatan. Sebab setiap waktunya berharga. Ia harus bisa melayani semua pengunjung tanpa membuat mereka menunggu terlalu lama jika tidak ingin kehilangan pekerjaan yang telah susah payah ia dapatkan.
Kedua tangannya bekerja lebih cepat dari tarikan napasnya. Tyas hampir tidak berpikir apa-apa lagi saat ia membungkus ayam di etalase kaca ke dalam kantung kertas, memberikannya kepada pembeli lengkap dengan nasi dan saus saset, lalu memasukkan beberapa ayam setengah matang ke dalam penggorengan untuk segera mengisi kembali etalase sebelum kosong.
Lengah sedikit membuatnya memasukkan ayam-ayam itu terlalu keras sehingga beberapa percikan minyak panas sampai ke punggung tangannya, tetapi Tyas hanya mendesis pelan. Tetesan minyak di tangannya ia singkirkan hanya dengan mengelapnya ke apron merah di tubuhnya sebelum ia kembali bekerja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Hey, istirahat dulu aja! Aku bisa handle, kok. Jam makan siang udah lewat!” seru salah satu rekan kerjanya yang juga mengenakan apron merah bergambar tokoh kartun ayam jago. “Kalau kau terus bekerja seperti robot begitu, bisa-bisa Bos hanya akan mempekerjakanmu saja selamanya.”
“Itu bagus,” jawab Tyas tidak acuh sambil fokus menghitung jumlah saus saset yang baru saja ia bawa dari tempat penyimpanan. “Aku bisa menerima gaji untuk dua orang.”
“Lalu bagaimana denganku?”
“Kamu bisa memohon orang tuamu untuk kembali menguliahkanmu di kampus lain.”
Rekan kerja Tyas menggelengkan kepala mendengar itu. “Kau kejam. Aku ini beberapa tahun lebih tua darimu.”
“Maaf.”
Permintaan maaf setengah hati, tetapi Tyas beruntung karena ucapan itu cukup untuk membuatnya tidak lagi diganggu. Hanya untuk beberapa saat.
Di jam berikutnya, ketika toko kembali didatangi banyak pembeli, Tyas harus berusaha menahan diri satu kali lagi untuk tidak mengabaikan seseorang yang ia sangat tidak ingin hadapi saat ini.
“Eh? Kamu Tyas, kan? Kenapa kamu gak sekolah beberapa hari ini?” Gadis dengan seragam putih abu ketat itu bertanya sambil mengedipkan mata berkali-kali, bulu-bulu mata palsu menari-nari. “Kamu kerja di sini? Apa anak SMA bisa kerja sambilan begini?”
Susah payah Tyas mengabaikannya. Keinginan untuk berteriak dan mengusir temannya—ralat, dia hanya gadis yang sekelas dengannya—terus menghimpit dadanya. Mengapa mereka harus bertemu seperti ini? Padahal Tyas sudah sengaja memilih tempat kerja yang sedikit jauh dari tempat tinggalnya.
“Maaf, kalau tidak ada yang mau dipesan, saya layani pembeli yang lain dulu,” ujar Tyas, tetap berusaha tenang. Beberapa pembeli lainnya tampak mulai menatap penuh tanya, merasakan atmosfer tidak mengenakkan di antara mereka berdua.
“Aku, kan, hanya bertanya! Apa kamu tidak tahu berapa kali Bu Guru menanyakan keberadaanmu? Kami capek sekali menjawabnya karena kami juga tidak tahu apa-apa!” Gadis itu mendengkus sambil mengentak kaki. “Kenapa bukan Bu Guru sendiri yang mendatangi rumahmu, ya? Apa karena dia malas datang ke tempat kumuh?”
Pegangan Tyas pada alat pencapit makanan semakin kuat mendengar itu. Tubuhnya terasa memanas, menyaingi panasnya uap penggorengan. “Tolong sampaikan kepada Bu Guru kalau aku mungkin akan segera mengundurkan diri.”
“Apa?”