Kedua mata Tyas terbuka tiba-tiba, ia menarik napas dalam sebelum benar-benar menyadari dirinya terbangun di tengah malam. Jam yang menempel dinding mengonfirmasi dugaannya. Selama ini ia tidak pernah mengalami gangguan tidur, jadi mengapa mendadak ia terbangun saat waktu bahkan belum menginjak dini hari?
Tyas mencoba untuk kembali tidur dengan mengubah posisi jadi menyamping. Ia baru saja akan memejamkan mata saat telinganya menangkap suara sayup-sayup. Seketika ia mengerti.
Suara tangisan pelan telah membangunkannya dari tidur lelap.
“Kira-kira siapa yang menangis? Lita? Atau Ibu?” Pikiran Tyas bertanya-tanya, sebisa mungkin ia menepis kemungkinan bahwa ada makhluk lain yang menghantui rumahnya. Bukan waktunya untuk tenggelam dalam imajinasi menyeramkan, bisa-bisa ia terjaga hingga pagi tiba.
Tidak ingin terus tenggelam dalam penasaran, Tyas perlahan-lahan bangkit. Tubuhnya sedikit bergidik ketika telapak kakinya menginjak permukaan lantai yang dingin, tetapi ia menahan semuanya demi bisa mengendap-endap ke dekat pintu kamar.
“Apa mungkin Ibu bermimpi buruk dan mengigau karena tidur di sofa tidak nyaman? Harusnya aku saja yang tidur di sana,” sesal gadis itu. Semakin ia mendekati sumber suara, semakin ia yakin bahwa memang Ranti yang sedang menangis. “Apa yang harus kulakukan? Haruskah Ibu kubangunkan?”
Tyas menimbang-nimbang pilihannya. Jika ia biarkan, Ranti mungkin akan terus tidur dengan tidak nyaman dan berakhir kelelahan, tetapi jika ia bangunkan, bukankah Ranti akan kesulitan untuk tidur kembali? Apalagi belakangan ini ibunya itu sering merasa pegal dan ngilu di seluruh tubuh akibat kerja berlebihan. Waktu tidur adalah satu-satunya saat di mana Ranti tidak merasakan lelah dan sakit.
Meskipun belum memutuskan, Tyas tetap membuka pintu. Hanya sedikit, menciptakan celah yang cukup untuknya mengintip. Ia kira, ia hanya akan melihat tubuh ibunya yang berbalut selimut di atas sofa. Namun, apa yang dilihatnya justru membuatnya menutup mulutnya sendiri dengan tangan.
Di sana, di tengah kegelapan ruang depan, dengan hanya pantulan cahaya lampu teras yang menyusup di antara gorden tipis jendela rumahnya, Ranti duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Tubuhnya bergetar bersamaan dengan isak tangis yang berusaha ia redam dengan telapak tangan. Sesekali napasnya terdengar seperti tercekik hingga ia terbatuk-batuk.
“Ini salahku …,” gumaman pelan lolos dari bibirnya, “anakku, malangnya anakku. Apa sungguh tidak ada yang bisa kulakukan?”
Tyas semakin menutup mulutnya rapat-rapat, khawatir dirinya ikut menangis dengan terlalu keras hingga sang ibu menyadari kehadirannya. Sayangnya, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mencegah kesedihan menyesakkan dadanya. Tanpa perlu mendengar keseluruhan keluh kesah Ranti, Tyas sudah tahu apa yang ibunya itu sesali.