Tyas sungguh tidak bisa percaya, lagi-lagi ia dan Ranti berakhir di situasi yang sudah berulang kali terjadi. Berdua duduk di atas kursi kayu ruang tunggu Rumah Sakit, dengan wajah kusut, dan kepala menunduk. Bau disinfektan yang menyengat memenuhi udara, serta derit dari kursi roda yang membawa pasien berlalu lalang, semuanya sudah menjadi pengalaman yang biasa. Satu-satunya yang berbeda adalah bagaimana tidak ada satu pun dari Tyas dan Ranti yang berbicara, keduanya terlalu terkejut akan berita yang baru saja mereka dengar.
Leher dan bahu Tyas sudah pegal luar biasa dari caranya membungkuk, ia juga tidak duduk dengan nyaman demi bisa menghadap arah lain. Tidak ingin sedikit pun melihat sosok Ranti di sampingnya yang ia yakini tengah menangis dalam diam.
Biasanya, satu tetes air mata Ranti akan membuat Tyas gelisah dan ingin segera menghibur atau menawarkan diri untuk membantu. Akan tetapi, kini setiap isak tangis sang ibu justru membuatnya semakin meradang. Gadis tomboi itu akhirnya berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Maafkan Ibu, Nak,” ucapan Ranti yang lirih membuat langkah Tyas terhenti.
Tyas mendengkus, masih enggan menatap ibunya. “Maaf untuk apa? Ibu salah apa?”
Ranti tercekat mendengar itu hingga tidak bisa langsung mengatakan jawabannya. Ia diam seribu bahasa, tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun hingga siapa pun akan mengira bahwa ia telah pergi dari sana. Termasuk Tyas yang lantas berbalik lalu menghela napas kecewa.
“Memangnya salah Ibu, kita tidak lulus tes untuk jadi pendonor?” tanya Tyas lagi. Suaranya terdengar lembut, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan betapa ia tengah berada di ujung kesabarannya. “Aku hanya ingin tahu apa alasannya. Aku mungkin hanyalah anak kecil yang belum bisa sepenuhnya mengerti permasalahan orang dewasa, dan aku ingin percaya bahwa semua yang Ibu lakukan adalah demi kebaikan keluarga kita. Tapi … rasanya ada rahasia yang terlalu besar yang Ibu sembunyikan sampai sekarang. Apa salah kalau aku merasa Ibu telah menipuku meskipun maksud Ibu baik?”
“Tyas …,” tangan kurus Ranti berusaha meraih tubuh Tyas, tetapi sang anak tetap memilih untuk menjaga jarak, “Ibu mengerti. Kamu pasti terkejut dan marah. Tadinya Ibu ingin memberitahu kalian setelah keluarga kita bersatu lagi, tapi ternyata situasinya tidak memungkinkan. Sekarang kita hanya harus fokus pada kesehatan Lita.”
“Kesehatan Lita semakin terancam karena Ibu tidak pernah memberitahuku bahwa kita sama sekali tidak berhubungan darah dengannya.”
Kedua mata Ranti melebar. Ia berdiri dan meraih paksa kedua pundak Tyas, sebisa mungkin berusaha tidak menyakiti anaknya itu. “Dari mana kamu dapat kesimpulan itu? Itu tidak benar. Dia adikmu! Apa pun yang terjadi, Lita adalah keluarga kita!”
“Tapi kenapa di antara kita berdua, tidak ada satu pun yang cocok untuk mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Lita? Kenapa, Bu? Jelaskan padaku!” Napas Tyas mulai terengah-engah oleh amarah. “Tadi Ibu sendiri yang secara tidak langsung mengakui bahwa ada rahasia yang selama ini Ibu sembunyikan. Sekarang beritahu aku! Ibu tidak bisa lagi menghindar!”
Ranti menarik napas dalam, berusaha untuk tidak terbawa emosi. Dengan waspada ia menoleh ke kanan dan kiri, mendapati bahwa hanya terdapat beberapa orang selain mereka di sana. Namun, bukan berarti mereka bisa leluasa bicara panjang lebar, pada akhirnya, Ranti menarik tangan Tyas dan membawanya ke luar Rumah Sakit.
Beruntung, Tyas sama sekali tidak berontak dan hanya mengikuti dalam diam. Tampaknya ia sendiri mengerti pertimbangan sang ibu, sehingga ia baru kembali berbicara setelah mereka berada di dekat lahan parkir yang sepi.
“Katakan, Bu. Sebenarnya, Lita itu siapa?” tanya Tyas lagi. “Aku sangat terkejut ketika pihak Rumah Sakit bilang bahwa kita tidak bisa menjadi pendonor untuk Lita. Bahkan aku baru tahu kalau golongan darah Lita itu A, tidak cocok dengan aku dan Ibu yang O. Golongan darah Ayah adalah B, jadi bagaimana bisa aku dan Lita bersaudara?”
Ranti menggigit bibir bawahnya, diam-diam menyesal telah melibatkan Tyas dalam masalah ini meski ia tahu bahwa kemungkinan Tyas dapat menjadi pendonor sangatlah kecil. Kini ia harus mengatakan sesuatu agar kemarahan Tyas mereda, tetapi apa yang bisa ia katakan? Sampai mana ia bisa memberitahu putrinya itu akan rahasia yang hanya diketahui dirinya dan mantan suaminya?