“Usiaku dan Lita hanya terpaut dua tahun. Sehingga saat Lita lahir, aku masih sangat kecil untuk mengingat semuanya, tapi seharusnya aku tetap memiliki sedikit kenangan tentang itu.” Tyas menarik napas dalam sambil menutup matanya perlahan-lahan. Menuturkan setiap kata dalam keadaan relaks. “Anehnya, sekeras apa pun aku menggali ingatanku, aku tidak ingat pernah bertemu Lita saat dia masih bayi. Sekelebat pun tidak ada memori tentangnya di masa itu. Padahal Ibu tahu, kan, betapa kuatnya ingatanku?”
Ranti yang awalnya sibuk mengusap rambut Tyas mendadak terdiam. Tangannya yang menopang kepalanya sedikit bergetar, hampir membuatnya berbaring sepenuhnya di atas kasur sempit Tyas. Sang anak yang masih berbicara dalam keadaan mata tertutup tidak menyadari perubahan apa pun, melanjutkan cerita tanpa ragu-ragu.
“Ingatanku tentang Lita dimulai dari usia empat tahun. Aku ingat karena di masa itu, aku paling tidak suka berbagi mainan dengannya yang sering menuntut dan menangis.” Tyas berkata dengan yakin. “Sampai kemarin, aku masih bertanya-tanya, ke mana Lita di tahun-tahun sebelumnya?”
“Lita ada, kok. Meski kamu tidak ingat, Ibu pernah mengenalkan kalian sebelum Lita benar-benar tinggal bersama kita,” sahut Ranti lembut. Perlahan-lahan kembali membelai kepala sang anak. Menikmati ketenangan yang kamar Tyas berikan kepada mereka.
Sungguh keputusan tepat untuk menunda pembicaraan mereka di Rumah Sakit tadi sampai mereka kembali ke rumah. Dengan begini, mereka bisa mencurahkan segala pikiran tanpa ragu. Lita juga berada tepat di ruangan samping. Kapan pun gadis itu membutuhkan bantuan, mereka akan langsung bisa menghampirinya.
Akhir-akhir ini memang kondisi Lita cukup baik, tetapi mereka tidak boleh menurunkan kewaspadaan.
Meskipun begitu, Ranti tetap menyingkirkan sebagian besar rasa khawatirnya terhadap Lita untuk sementara, demi bisa benar-benar fokus kepada Tyas yang juga membutuhkan perhatiannya. Selama ini Tyas sudah cukup lama mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri untuk keluarga, setidaknya Ranti harus bisa menyediakan waktu untuk Tyas.
“Tidak perlu terburu-buru menerima semua informasi ini,” sambung Ranti kemudian. “Ini pasti tidak mudah untukmu.”
Seketika Tyas membuka mata, ia menggelengkan kepala sambil menatap wajah lelah ibunya. “Tidak sesulit itu. Memang, hatiku sakit memikirkan bagaimana Ibu begitu lama merahasiakan semua ini dariku dan berjuang sendirian. Aku dengan seenaknya selalu mendahulukan amarahku tanpa tahu bahwa penderitaanku tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan Ibu.”
“Tyas ….”