‘Orang Asing’.
Tyas menatap nama kontak di layar ponsel ibunya untuk kesekian kali. Mempertimbangkan apakah ia sungguh akan menghubungi nomor itu atau tidak.
“Aku yakin, ini nomor Ayah,” gumamnya pelan. Berharap hanya keempat dinding kamarnya yang bisa mendengarnya. “Jelas-jelas aku melihat nama ini saat mengecek siapa yang Ibu hubungi di malam itu. Ibu pasti sengaja menyimpannya tanpa mencantumkan nama Ayah agar aku dan Lita tidak tahu. Sayangnya, Ibu terlalu gaptek untuk bisa menghapus riwayat telepon.”
Gadis itu menarik napas dalam, sesaat merasakan amarah yang membara sejak kemarin sedikit mereda. Hanya sesaat, sebab detik berikutnya ia justru semakin bertekad untuk menekan tombol bergambar telepon di samping nomor sang Ayah. Ibu jarinya bergerak cepat sebelum ia bisa berubah pikiran.
Nada sambung yang monoton langsung terdengar di telinga. Satu detik, dua detik berlalu, penantian Tyas tidak kunjung bersambut. Tidak ada seorang pun yang menerima panggilannya. Tyas mengerutkan kening sambil memeriksa keterangan waktu yang tercantum di bagian atas layar ponsel. Hari masih cukup pagi, tetapi seharusnya semua orang telah bangun dan memulai aktivitasnya. Seharusnya menerima telepon bukanlah masalah.
“Jangan bilang kalau Ayah masih tidur?!” protes Tyas setelah panggilan telepon terputus begitu saja. Ia kembali menekan tombol hubungi dengan agresif. “Kumohon, angkatlah! Sebelum aku semakin berdosa karena mengata-ngatai ayahku sendiri.”
Percobaan kedua juga gagal. Tyas mencoba lagi untuk kali terakhir. Ia tidak bisa berlama-lama melakukan ini karena harus segera membangunkan Lita dan menemani adiknya itu sarapan. Ranti selalu memercayakan Lita kepada Tyas setiap pergi bekerja, Tyas tidak bisa mengkhianati kepercayaan itu.
Ditambah lagi, ia sendiri juga harus bersiap pergi kerja. Meski hatinya sangat berat untuk meninggalkan Lita sendirian, Tyas tidak bisa lagi membolos jika ingin memiliki cukup uang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Oleh karena itu, ketika nada sambungnya seperti mulai menuju akhir, ia sudah bersiap untuk menyudahi usahanya dan menelan kekecewaannya bulat-bulat.
“Halo? Kenapa kamu menghubungiku pagi-pagi seperti ini? Bukannya kamu tidak mau anak-anak tahu kalau kita masih berkomunikasi?” Suara Daris tiba-tiba terdengar, berat dan sedikit serak. Sesekali pria itu juga menguap, sama sekali tidak peduli jika lawan bicaranya mendengar itu semua.
Untuk sesaat, Tyas tertegun. Tidak menyangka bahwa sang ayah akan mengangkat telepon dengan santainya. Daris pasti mengira bahwa yang menghubunginya adalah Ranti, tetapi itu tetap tidak mengubah perasaan kesal yang kini Tyas rasakan setelah mendengar ucapan tidak acuh dari sang ayah.
“Kamu mau bicara atau tidak?” tanya Daris yang mulai kesal karena diabaikkan. “Sudahlah! Bicara denganmu sangat membuang waktu—“