“Apa Kakak tahu? Aku pernah depresi, tapi Nenek menganggap enteng seolah itu hanya penyakit musiman seperti flu.” Lita tertawa miris. “Meski tidak pernah benar-benar melarangku mengeluh, aku tahu kalau Nenek benci memiliki cucu yang lemah. Aku harus menahan semua penderitaan seorang diri. Aku selalu ingin pulang, aku ingin kembali ke pelukan ibu.”
“Lalu kenapa kamu tidak melakukannya?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Tyas yang sedari tadi membisu karena terkejut oleh cerita Lita.
Sungguh, hati Tyas hancur berkeping-keping mendengar kata-kata yang adiknya lontarkan dengan susah payah. Ia juga malu karena selama ini terus merasa cemburu kepada Lita tanpa mengetahui kebenarannya. Meskipun Tyas tidak cukup mengerti seperti apa itu depresi, ia tahu bahwa penderitanya pasti sangat tersiksa, apalagi Lita tidak punya siapa-siapa yang bisa mendukungnya dalam melewati semua itu.
Tyas mengulurkan tangan untuk meraih Lita, tetapi adiknya itu mengambil satu langkah mundur.
“Mana bisa aku melakukannya? Aku hanya bertemu kalian beberapa kali dalam setahun, dan di setiap pertemuan itu, aku tidak memberikan kesan yang baik karena aku …,” gadis pucat itu menggigit bibir bawahnya sekilas, “aku cemburu, aku marah! Kalian bisa hidup bahagia tanpa aku. Awalnya aku tidak tahu, tapi sekarang aku tahu alasannya. Sejak awal aku bukan bagian dari hidup kalian.”
“Tidak, Lita. Itu tidak benar. Ibu bilang ….”
“Jangan berpura-pura tidak terkejut. Aku tahu Kakak juga masih kesulitan menerima kenyataan kalau aku dan Kakak punya ibu yang berbeda.”
Napas Tyas tercekat mendengar itu. Ia mengusap wajahnya kuat-kuat sambil menarik napas dalam. “Itu benar. Aku memang terkejut dan tidak suka dengan situasi saat ini. Tapi ini semua bukan salahmu, bukan kamu yang seharusnya kubenci.”
“Kenapa begitu? Aku, kan, cukup membuat hidup Kakak dan Ibu menderita?”
Pening rasanya Tyas mendengar setiap pertanyaan yang Lita lontarkan. Adiknya itu terlihat begitu rapuh, seakan-akan satu kata menyakitkan akan membuatnya tumbang. Bahkan Tyas bisa melihat bahwa kedua kaki Lita mulai goyah. Refleks ia menarik kursi terdekat dan menyuruh sang adik untuk duduk.
“Tidak perlu,” tolak Lita ketus.