“Apa semuanya sudah selesai untuk hari ini?” tanya Tyas khawatir. Ia membetulkan letak selimut di tubuh Lita yang kini tertidur karena kelelahan. “Kenapa pemeriksaan yang harus Lita jalani sampai sebanyak ini?”
Ranti termenung, matanya lekat menatap jarum infus di tangan kiri Lita sebelum beralih ke jadwal perawatan yang tertulis di atas papan putih berukuran sedang. Tulisan ‘H-7’ terpampang dengan jelas, diikuti oleh daftar kegiatan yang harus Lita ikuti mulai pagi ini.
Kedua mata Ranti bergetar mengingat apa yang Dokter katakan beberapa saat lalu. Lita mungkin harus merelakan sebagian besar rambutnya dipotong karena rambut panjang hanya akan menyulitkan proses persiapan operasi maupun pemulihan nanti.
Seumur hidup, Ranti tidak pernah membayangkan bahwa akan ada saat di mana ia diharuskan melihat penderitaan dari orang-orang yang ia cintai. Selama ini ia rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anak-anaknya, lelah fisik dan mental merupakan hal yang biasa baginya. Namun, rupanya semua itu tidak ada bandingannya dengan menyaksikan bagaimana Lita harus berjuang melawan penyakit dan Tyas harus berbesar hati merawat adik serta mendampingi ibunya.
Ranti merasa tidak berdaya. Sepanjang hari ia hanya bisa menunjukkan senyum terbaik dan menemani Lita bersama Tyas di setiap tahap persiapan operasi transplantasi.
Benar, Lita telah menjalani persiapan untuk menerima donor organ. Siapa orang yang berbaik hati untuk menjadi pendonor? Tidak ada yang tahu, yang bersangkutan ingin merahasiakannya. Pihak Rumah Sakit hanya mengatakan bahwa malaikat baik hati itu berasal dari kota yang jauh.
“Bagaimana jika ternyata pendonor itu menyerah di waktu-waktu terakhir?” tanya Tyas dengan sedikit berbisik. Mereka berdua kini tengah berdiri dengan kikuk di samping Lita yang sedang mengucapkan selamat tinggal kepada rambut panjang indahnya. “Apa semua proses ini akan ada artinya?”
“Jangan kehilangan harapan,” tegur Ranti sambil memegang tangan Tyas erat-erat. “Dokter bilang kita harus bersiap, itu berarti kemungkinan besar Lita akan menjalani operasi itu. Tetap berpikir positif, Lita bisa merasakan kalau kita ragu sedikit saja.”
“Ibu bisa berpikir positif di saat seperti ini? Apa Ibu tidak lihat bagaimana wajah Lita tadi? Dia sudah seperti boneka tanpa nyawa yang mau saja diperlakukan seperti apa pun. Dia bahkan tidak lagi meringis setiap kali kulitnya ditusuk jarum.”
“Tyas ….” Ranti menegur Tyas sambil melirik ke arah Lita. Meski terus terdiam, sudah pasti Lita mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
Tyas mendengkus. Ia sudah mencapai batasnya untuk bertahan di kamar rawat inap Lita, sehingga memilih untuk pergi. Mau membeli makanan, katanya, tetapi sesungguhnya ia hanya ingin berkeliaran di luar dan menghirup udara segar.
Sayangnya, bukan kesegaran yang segera menghampirinya, melainkan rasa terkejut. Daris, sang ayah, kini berdiri tepat di hadapannya. Pria itu terlihat baru menjauhi meja pusat informasi dan tengah membaca petunjuk arah satu per satu.
“Oh! Tyas! Untung kamu ada di sini. Ruangan Lita di sebelah mana?” tanya Daris setelah ia bertemu mata dengan anak sulungnya.
Seketika Tyas membuang muka dan berlari melewati pintu keluar. Meninggalkan ayahnya yang hanya bisa menggelengkan kepala.