Dunia memang selalu berputar, manusia bisa hidup di atas maupun di bawah, Nek Batari tahu itu. Akan tetapi, ia tidak pernah menyangka hidupnya berubah drastis dalam satu malam hanya karena kecelakaan kecil.
Bahkan apa yang terjadi terlalu sepele untuk disebut kecelakaan. Nek Batari hanya beberapa kali menjatuhkan gelas yang digenggamnya secara tidak sengaja, hampir tersandung kaki sendiri karena mendadak otot kakinya terasa lemas, serta beberapa kali merasa kesulitan bernapas. Semua itu tidak aneh, mengingat usianya yang tidak lagi muda. Sayangnya, Daris, anak laki-lakinya yang selama ini selalu ia utamakan, memiliki pendapat yang berbeda.
“Pokoknya Ibu harus segera periksa dokter sebelum semuanya makin parah,” titah Daris di suatu hari. “Menurutku ini bukan kasus kecerobohan biasa. Apa Ibu sadar kalau belakangan bicara Ibu juga tidak jelas? Aku harus meminta Ibu mengulang ucapan Ibu, tapi karena Ibu sering sensitif, aku jadi tidak berani mengatakan apa pun.”
“Sensitif apanya?” Nek Batari balas bertanya sambil konsentrasi mengelap permukaan guci mewah bermotif bunga yang baru ia beli bulan lalu dengan harga fantastis. “Lebih baik kamu cepat pergi bekerja atau jalan-jalan dengan teman-temanmu. Tampaknya kamu sudah jenuh di rumah, apalagi setelah istri terbarumu pergi begitu saja.”
“Aku memang akan pergi.” Daris mendengkus. Sebenarnya hari ini ia sama sekali tidak ada rencana, tetapi bisa gila rasanya jika ia hanya berdiam bersama sang ibu yang selalu memperlakukannya seperti anak remaja. “Mungkin nanti aku akan mampir sebentar ke rumah Ranti untuk menengok anak-anak.”
Jelas sekali kalimat terakhir Daris ucapkan tanpa sadar, sebab detik berikutnya ia menyumpahi dirinya sendiri dengan berbisik. Ia berharap Nek Batari tidak mendengarnya. Sayang, pendengaran nenek tua itu masih cukup baik. Nek Batari berbalik sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
“Tidak boleh,” larangnya tegas. “Setelah Lita tidak lagi tinggal bersama kita, tidak ada alasan untuk kita terus berhubungan dengan mereka. Jangan sekali-sekali menemui Ranti apalagi datang ke rumahnya.”
Daris mendesah. Karena inilah ia sering dicap sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab oleh mantan istri dan anak-anaknya sendiri. “Tapi sampai Tyas dan Lita menikah, aku masih harus menafkahi mereka, Bu. Selama ini aku tidak melakukannya karena Ibu sudah merawat Lita dan sering memberi uang kepada Ranti meskipun dia menolak. Sekarang, biar aku yang melakukannya.”
“Tidak perlu.”
“Ibu ….”
“Ibu bilang tidak perlu! Kenapa semakin dewasa kamu malah semakin membangkang?” Tiba-tiba Nek Batari meneteskan air mata dengan sangat deras, hingga ia sendiri kesulitan untuk bernapas. Tubuhnya bergetar, dengan perlahan ia meraih kursi dan duduk dengan tubuh membungkuk. “Percuma saja Ibu mengorbankan seluruh hidup untuk merawatmu. Pada akhirnya kamu lebih mementingkan perempuan yang sudah meninggalkanmu!”
Kemelut di benak Daris menjadi semakin kusut, berbelit hingga sulit terurai lagi. Sikap Nek Batari yang semakin aneh menjadi pemicu terbesar dari rasa frustrasi yang kini dirasakan. Ibunya yang biasanya terlihat tegar dan mandiri, kini bahkan menangis tersedu-sedu di hadapannya.
Meskipun Daris bukan anak yang baik, ia tetap merasa sangat bersalah telah membuat sang ibu tersedu sedan. Alhasil, ia mencoba mendekat sambil memikirkan kata-kata penghibur. Namun, ketika ia melihat dengan jelas bagaimana wajah Nek Batari menekuk dengan aneh di beberapa titik, refleks kakinya mengambil langkah mundur.
“Kita ke Rumah Sakit sekarang,” ujar Daris sebelum mengambil kunci mobil dan menarik Nek Batari agar pergi bersamanya.
Apa yang terjadi setelahnya tidak begitu jelas di ingatan nenek tua itu. Ia hanya tahu bahwa dokter mendiagnosanya dengan sebuah penyakit yang sebenarnya tidak berat, tetapi akan cukup merepotkan. Daris berteriak marah, berkali-kali ia mengatakan bahwa ia tidak bisa melakukan ini. Melakukan apa? Nek Batari tidak tahu dan tidak ingin tahu. Karena jauh di dalam lubuk hati, ia sadar bahwa sang anak tidak terlalu menyayanginya.
Benar saja. Pada akhirnya di sinilah ia, duduk lemah di atas kursi roda tua, menatap wanita dan pria yang jauh lebih tua darinya tengah disuapi oleh perawat berseragam. Bentakan dan hinaan yang berasal dari mulut-mulut berkeriput terdengar dari berbagai arah. Nek Batari mungkin akan melakukan hal yang sama jika saja ia tidak merasa terlalu lelah.
“Sekarang, ayo kita coba angkat kaki satu persatu.” Suara pria muda di sebelahnya terdengar begitu dekat dan lembut, tetapi itu hanya membuat Nek Batari semakin muak. Tidak bisakah orang ini meninggalkannya untuk meratapi nasib seorang diri?
“Coba angkat kaki yang ini.”
Sebuah sentuhan terasa di kaki kanannya. Nek Batari mengangkat kaki itu, masih dalam posisi duduk.