Pukul 20.30 malam, di Kafe Gemilang.
Bondi mengintip dari lubang kunci pintu belakang sebelum memutuskan untuk membukanya. Beberapa kali ia mencoba menekan kunci pintu itu tadi, tapi tak kunjung bisa. Sepertinya agak macet. Untuk memastikan, Bondi mengintip lubang kuncinya agar tau adakah benda yang mengganjal. Tapi ternyata tidak ada.
Setelah memastikan, Bondi kembali mencoba memasukkan kunci dan menekannya. Klik. Kali ini bisa. Ah, syukurlah, bisik hatinya. Pria itu membuka pintu dan keluar dari gedung kafe. Malam ini, ia yang pulang paling akhir. Semua karyawan kafe sudah pulang lebih dulu, termasuk Gabriel dan Tessa yang bertugas membersihkan kafe sebelum pulang.
Bondi melangkah gontai menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari gedung kafe. Ia menekan remote control dan mobil itupun berbunyi, lampunya berkedap kedip.
Bondi membuka pintu mobilnya begitu tiba di mobil itu. Ia memasukkan tasnya lebih dulu ke jok samping sebelum masuk dan menutup pintu mobil. Tanpa perasaan apa-apa, Bondi menyalakan mesin mobilnya dan tak lama mobil sedan hitam metalik itu bergerak meninggalkan gedung kafe.
Mobil Bondi meluncur di jalanan malam kota yang cukup sepi. Ia tinggal di daerah perbatasan sehingga membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit untuk tiba di rumahnya. Sebelum pulang tadi, ia sudah menyuruh Dewa untuk mengantarkan surat pemecatan terhadap Nathan ke rumah sakit. Sebetulnya, ia tak tega juga pada pemuda itu. Tapi mau bagaimana lagi, kesalahan yang dilakukan Nathan sudah tak bisa ditolerir menurutnya.
Bondi juga bukan yang punya kafe, ia hanya manager yang ditugaskan untuk mengontrol semua yang ada di kafe itu. Ia yang bertanggung jawab atas semua yang ada di kafe tersebut. Jika ada kecurangan atau barang yang hilang otomatis Bondi yang akan disalahkan oleh sang pemilik karena dianggap tak becus menangani kafe tersebut.
Kemaren pagi, saat Bondi mengecek beberapa perkakas dapur, ia menyadari ada sebuah pisau yang menghilang. Ia selalu menghitung jumlah peralatan yang ada di kafe, dan jika ada salah satu yang tidak ketemu, otomatis Bondi pasti tahu.
"Ini satu pisau kemana? Ada yang lihat?" tanyanya kepada seluruh karyawan kemaren pagi. Semua karyawan menggeleng dan saling pandang beberapa saat.
"Ada di wastafel mungkin Pak, belum dicuci," ujar Dewa.
"Saya sudah cek, wastafel kosong," jawab Bondi. "Tadi malam yang bertugas membersihkan perkakas siapa?"
Semua karyawan kembali saling pandang, hingga akhirnya Gabriel yang menjawab.
"Nathan, Pak," jawab pemuda yang memiliki tahilalat di pipi itu. Bondi mendengus, ah lagi-lagi pemuda itu, bisik hatinya.
"Dimana dia?" tanyanya.
"Sekarang dia libur Pak," jawab Gabriel lagi. Bondi lagi-lagi mendengus dan geleng-geleng kepala.
"Ya sudah, kembali bekerja," serunya. Semua karyawan kembali melanjutkan aktivitas mereka yang sebelumnya sempat tertunda.
Hingga siangnya, Bondi memanggil Dewa untuk meminta tolong mengecek rekaman CCTV di ruang belakang kemaren malam. Dewa mengikuti perintah sang atasan dan keduanya terbelalak ketika melihat Nathan dengan sengaja memasukkan sebuah pisau ke tasnya.
"Ini dia mencuri!" seru Bondi tampak tak terima.
"Tenang dulu Pak. Lebih baik besok tanya pada Nathan langsung ketika dia masuk kerja lagi. Mungkin dia memerlukan benda itu," ucap Dewa menenangkan.
"Kalau memang dia butuh, dia bisa pinjam. Bilang pada saya atau yang lain. Bukan main ambil tanpa ijin begini," ungkap Bondi.
"Ya sudah, Bapak tenang dulu. Besok Nathan juga sudah kembali masuk kerja," tukas Dewa. Bondi menerima saran pemuda itu untuk tidak langsung menghubungi Nathan hari itu juga. Sebab, ia juga tak mau mengganggu waktu libur pemuda itu. Tunggu besok saja, kalau dia masuk, baru akan diinterogasi, pikir Bondi.
Sebenarnya Bondi memang cukup jengkel dengan Nathan. Ia tak suka dengan sifat Nathan yang kebanyakan melamun dan juga ngobrol dengan salah satu pelanggan tetap, yaitu dokter cantik itu, Andini.
Tapi kalau harus memecat Nathan ia juga kasihan. Sebab, ia tahu sedikit banyaknya tentang kejadian yang menimpa pemuda itu. Kota ini kota kecil, jika ada berita heboh pasti orang langsung tahu.
Bondi tahu, berada di posisi Nathan tidaklah mudah. Ia kehilangan anggota keluarga dengan cara yang mengenaskan di depan matanya. Tentu itu akan menimbulkan luka dan trauma yang mendalam. Dulu, tepatnya setahun yang lalu, saat Nathan mengantar CV padanya untuk melamar pekerjaan, Bondi sempat sangsi.
Pemuda itu datang suatu sore dengan wajah kuyu dan badan lemah. Pandangan matanya nanar dan tak fokus. Melihat hal itu, Bondi sempat sangsi akan menerimanya bekerja. Tapi ia tahu, Nathan butuh pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Alhasil, atas dasar kemanusiaan dan mencoba mengabaikan sikap pemuda itu, Bondi menerimanya.