Dirga sedang memperhatikan beberapa foto kondisi mayat Bondi yang diambil beberapa hari yang lalu di ruangannya pagi ini. Meski pria itu sudah terkubur dan tidak dilakukan autopsi pada mayatnya, namun Dirga tetap harus melanjutkan investigasinya.
Selain karena kariernya yang terancam kalau kasus yang ia usut tak tuntas, ini juga masalah kemanusiaan. Bagaimanapun juga korban harus mendapat keadilan. Dirga dapat membayangkan jika hal itu terjadi pada dirinya sendiri atau keluarganya, tentu ia juga tak dapat terima.
Sambil terus memperhatikan foto-foto korban, Dirga menyeruput kopinya sedikit. Namun beberapa saat kemudian, ia mengerutkan kening menatap foto-foto itu. Ada sebuah foto yang membuatnya sedikit heran.
Ternyata setelah diperhatikan, selain mendapat tusukan di perut dan dada, serta lilitan di lehernya, Bondi juga mengalami cidera di bagian kepala sepertinya. Ada lelehan darah dari sela-sela rambutnya. Meski tak mengenai bagian wajah, karena lelehan justru mengalir ke bagian belakang kepalanya.
Tunggu, jika lelehan darah itu mengalir ke bagian belakang kepala, artinya ia kemungkinan besar dipukul dari depan. Sebab, jika dipukul dari belakang, pasti lelehannya akan mengalir ke depan dan mengenai wajahnya. Dan kalau dipukul dari depan, sepertinya pembunuh bukan berasal dari dalam mobil Bondi melainkan dari luar.
Ah, kenapa hal ini bisa ia lewatkan ketika pertama kali datang ke TKP? Mungkin karena lelehan darah itu tak begitu terlihat sebab tak mengenai wajah, hingga akhirnya terabaikan begitu saja. Tapi kini, setelah diperhatikan lebih seksama melalui foto, baru terlihat lebih detail.
Konsentrasi Dirga buyar ketika pintu ruangannya di ketuk beberapa kali. Pria itu memperbaiki sikap dan menyuruh orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Tak lama, pintu terbuka dan seorang polisi yang lebih muda darinya masuk.
"Mas, di depan ada Bu Jihan hendak mengurus surat kematian suaminya," ujar polisi muda yang bernama Deon itu. Ia adalah bagian humas yang melayani kepentingan masyarakat terkait kepengurusan berkas atau dokumen.
Mendengar hal itu, Dirga bangkit dari duduknya dan melangkah keluar ruangan diikuti Deon. Ia langsung menuju meja kerja Deon dan benar saja, disana sudah duduk Jihan Suganda, perempuan modis itu terlihat duduk dengan nyaman dan sama sekali tak memperlihatkan ekspresi kesedihan di wajahnya.
"Pagi Bu Jihan," sapa Dirga. Perempuan itu menoleh cepat dan tersenyum ketika menatap polisi yang sebelumnya sudah menginterogasinya. Sementara Deon kembali duduk di kursi kerjanya.
"Pagi Pak," jawab Jihan tersenyum manis. Riasan wajahnya terlihat cerah sekali, tak seperti orang yang sedang berduka. Ia juga memakai pakaian yang cukup cerah untuk status sebagai janda yang baru saja ditinggal mati suaminya beberapa hari yang lalu dengan cara yang mengenaskan. Sangat mencurigakan, pikir Dirga.
"Ibu mau mengurus surat kematian Pak Bondi?" tanya Dirga lagi.
"Ya, betul," jawab Jihan.
Dirga mendengus beberapa saat sebelum kembali berkata. "Maaf Bu, surat kematian belum bisa kita urus sebab kematian Pak Bondi masih menjadi penyelidikan kepolisian."
"Lho, apa hubungannya Pak?" tanya Jihan dengan kening berkerut.
"Surat kematian baru bisa kami urus setelah penyelidikan selesai," jawab Dirga.
"Pak, suami saya itu sudah mati dan sudah dimakamkan. Lalu kenapa saya tidak bisa mengurus surat kematiannya? Prosedur macam apa ini?" sembur Jihan tampak tak terima. Bahkan suaranya melengking cukup tinggi hingga membuat perhatian beberapa orang diruangan itu teralihkan padanya.
"Lagipula, suami Ibu baru saja meninggal. Rasanya terlalu cepat untuk mengurus surat kematiannya sementara kasusnya masih diselidiki polisi," ucap Dirga.
"Kalau itu urusan saya. Bapak tidak usah mempertanyakan kenapa saya terlalu cepat mengurus dan lain sebagainya. Saya ada urusan yang mengharuskan saya untuk mengurus surat kematian beliau. Bapak kalau mau melanjutkan penyelidikan, lanjutkan saja. Saya juga tidak menghalangi, tapi jangan halangi saya juga untuk mengurus surat kematian suami saya," ungkap Jihan lagi.