Dewa memarkir sepeda motornya di sebuah tepian jalan dan kembali mencoba menelepon kekasihnya, Quinn. Namun, tetap saja teleponnya tak diangkat oleh sang gadis.
Dewa mulai merasa resah. Tidak biasanya Quinn seperti ini. Biasanya gadis itu selalu cepat merespon telepon ataupun chat darinya. Namun, kali ini sudah sejak tadi dihubungi belum juga ada respon dari Quinn.
"Ah, sial. Angkat Quinn," bisik Dewa sembari terus mencoba menelepon gadis itu. Ia terlihat sangat gelisah. Namun, tetap saja operator yang menjawab teleponnya setelah nada sambung yang cukup lama.
"Kemana kamu Quinn?" tanya Dewa lagi, gelisah. Ia mengirimkan chat berkali-kali pada gadis itu tapi tetap saja tidak ada respon. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Aneh sekali, bisik hati Dewa. Dewa yakin pasti ada yang tidak beres dengan gadis itu.
Untuk menuntaskan rasa penasarannya, Dewa langsung menggas sepeda motornya menuju rumah Quinn. Meskipun hubungan mereka dirahasiakan, namun Dewa tahu tempat tinggal sang kekasih. Begitu pula Quinn, ia juga tahu kos Dewa.
Begitu tiba di rumah keluarga Suganda, Dewa menghentikan sepeda motornya. Ia membuka helm dan memperhatikan kondisi rumah yang sepertinya terlihat kosong. Pagarnya tergembok, tapi mobil yang biasa dikendarai Quinn terparkir di garasi. Aneh sekali, pikir Dewa. Biasanya gadis itu tidak pernah keluar dengan mobil lainnya.
Dewa kembali mencoba menelepon nomor Quinn. Namun tetap saja tak ada yang menjawab teleponnya. Ah, kemana gadis itu, pikir Dewa semakin gelisah. Ia kembali memperhatikan kondisi di dalam pekarangan, mobil Jihan tak terlihat disana. Apakah Quinn sedang pergi dengan ibunya menggunakan mobil perempuan itu? Tapi itu bukan alasan dia tidak menjawab telepon dan mengabaikan chat-nya. Apa mungkin gadis itu lupa membawa ponsel? Ah ya, sepertinya begitu.
Pemuda itu kembali menaiki sepeda motornya dan memakai helm. Namun perasaannya tetap saja tak enak. Akhirnya Dewa memutuskan untuk membuka helmnya dan mendekati pagar rumah kembali.
"Quinn!" serunya sambil memukul-mukul pagar. Tapi tetap saja tak ada sahutan dari dalam. Akhirnya Dewa memutuskan untuk memanjat pagar besi tersebut demi menuntaskan rasa penasarannya. Sebab perasaannya tetap berkata ada yang tidak beres dengan Quinn.
Dewa langsung melangkah dengan cepat menuju pintu rumah begitu sudah melompati pagar. Ia mencoba menekan gagang pintu, tapi terkunci. Dewa mengintip lubang kunci sejenak untuk melihat kondisi di dalam. Namun ia tak menemukan sesuatu yang janggal.
"Quinn!" seru Dewa lagi. Ini untuk terakhir kalinya. Jika tetap tak ada sahutan, ia akan pergi. Sambil terus mengetuk pintu, Dewa lagi-lagi mencoba menelepon ponsel kekasihnya itu. Ternyata terdengar nada dering dari dalam rumah. Ah, apakah benar dugaan Dewa sebelumnya bahwa gadis itu lupa membawa ponselnya?
Dewa mencoba mencari sumber suara nada dering tersebut. Sepertinya itu berasal dari lantai dua. Dewa celingukan memperhatikan dari luar dan akhirnya melihat jendela kamar Quinn yang berada di lantai dua terbuka.
"Quinn!" seru Dewa lagi semakin penasaran. Namun panggilannya tetap tak mendapat respon. Perasaan Dewa semakin tak enak. Akhirnya ia memutuskan untuk mendobrak pintu depan dan masuk ke dalam rumah itu. Dalam tendangan ketiga, pintu depan terbuka.
Dewa melangkah masuk dan langsung berlari menuju lantai dua. Pintu kamar Quinn terbuka dan ponselnya terus berdering. Sebab Dewa memang terus menelepon nomor gadis itu dari ponselnya.
"Quinn..." panggil Dewa lagi ketika hampir tiba di pintu kamar sang kekasih. Tapi tetap saja tak ada sahutan dari dalam. Hingga akhirnya Dewa tiba di ambang pintu dan begitu terbelalak melihat apa yang ada di dalam kamar itu. Quinn tergantung di langit-langit kamar dengan kain panjang melilit lehernya. Lidahnya menjulur keluar dan matanya melotot.
Dewa benar-benar terperangah hingga menjatuhkan ponsel yang ada di genggaman tangannya. Untuk beberapa detik ia tak sanggup menahan bobot badannya, hingga akhirnya ia mencoba tetap stabil. Dewa langsung mendekat kearah kaki Quinn yang menggantung di udara. Ia menggoyang-goyangkan kaki gadis itu yang sudah terasa dingin.
"Quinn... Quinn..." bisiknya tertahan. Namun sang gadis tak menyahut. Tubuhnya terus berayun di udara. Sebagian wajahnya mulai membiru karena lilitan kain panjang di lehernya yang membuat darah berhenti mengalir di bagian kepala.
Menyadari kekasihnya sudah tak bernyawa, membuat Dewa dengan cepat meraih ponsel yang tadi ia jatuhkan dan menghubungi polisi.
"Kantor polisi, selamat siang," ucap seorang pria di telinga Dewa begitu telepon tersambung.
"Ha... Halo..." jawab Dewa terbata. Napasnya agak sesak dan matanya terus menatap kearah wajah Quinn yang semakin lama semakin pucat.