Dewa membuka matanya ketika sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis. Ia yang berbaring di kamarnya yakin bahwa isak tangis yang di dengarnya itu adalah suara tangisan sang ibu, Susi.
Hal ini sebenarnya sudah sering terjadi. Susi menangis diam-diam agar sang putra tak mengetahui kepedihan hatinya. Saat tengah malam begini biasanya, disaat sang putra sudah terlelap tidur, Susi menangis sendiri di ruang depan. Namun, tanpa ia sadari, rupanya Dewa mengetahui itu semua. Dari lubang kunci pintu kamarnya, Dewa mengintip diam-diam.
"Aku sudah tidak sanggup Tuhan," bisik Susi di sela isaknya. Bahunya berguncang menahan tangis pilunya. Sambil terduduk di sofa ruang depan, perempuan 36 tahun itu menopang keningnya. Air matanya menetes membasahi lantai.
Sejenak kemudian, tangannya mencoba meraih ponsel kecil yang ia letakkan di meja. Ia menekan beberapa nomor pada keypad dan kemudian mengarahkan speaker ponsel ke telinganya.
"Halo Mas, mau sampai kapan kau lari dari tanggung jawabmu, Mas?" ucap Susi sambil menghapus lelehan air matanya.
"Aku tahu ini sudah larut malam, tapi dari tadi sudah kuhubungi dan kau tidak angkat," ucapnya lagi setelah mendengar jawaban dari orang yang di teleponnya.
"Menunggu istri dan anakmu tidur dulu, selalu itu alasannya. Jangan salahkan aku kalau akhirnya kita bicara selalu larut malam begini. Aku tahu kau mengantuk, akupun juga. Tapi mau bagaimana lagi?" ungkap Susi tertahan. Sesekali ia menoleh ke arah pintu kamar sang anak yang masih tertutup rapat. Ia takut suaranya membangunkan sang anak. Padahal, tanpa ia sadari, Dewa sudah mengintipnya dari lubang kunci.
"Mas, SPP Dewa sudah menunggak selama 3 bulan, belum lagi biaya kebutuhan sehari-hari. Kau janji akan menafkahi kami, tapi mana buktinya? Kau tahu gajiku kecil, aku tidak sanggup menopang ini sendirian Mas. Untuk sewa kontrak rumah saja, gajiku habis," ungkap Susi lagi. Diam sejenak.
"Apa kau bilang? Sabar? Mau sabar sampai kapan Mas? Asal kau tahu, untuk menutupi semua biaya selama ini, aku sampai berhutang. Dan setiap minggu ia selalu datang menagih," ucap Susi lagi. "Mana janjimu? Kau bilang semua akan kau tanggung, tapi buktinya? Sampai sekarang masih aku yang banting tulang dan putar otak sendirian," sambungnya.
"Kenapa kau jadi marah Mas? Mas? Mas!? Halo..." seru Susi lagi sejenak kemudian. Sepertinya seseorang yang dipanggilnya 'Mas' itu sudah mematikan hubungan pembicaraan secara sepihak. Menyadari hal itu, Susi melempar ponselnya ke sofa dengan agak kesal. Lalu lagi-lagi ia menangis dan terduduk di lantai sambil berurai air mata.
Sementara dari lubang kunci pintu kamarnya, Dewa melihat itu semua. Ia hanya bisa menghela napas getir dan iba melihat nasib ibunya. Hampir tiap malam Susi menangis. Hampir tiap malam pula terjadi perdebatan di telepon yang ia dengar. Sebagai seorang anak yang dibesarkan oleh single mother, tentu Dewa memiliki kedekatan batin yang sangat kuat dengan ibunya. Ia tahu ibunya menderita. Ia tahu batin Susi menjerit. Tapi ia bisa apa? Ia hanya seorang anak kecil yang belum bisa berbuat apa-apa.
--------------------------------------