Hidup itu lucu. Kadang kita sibuk merencanakan masa depan, sibuk mengejar sesuatu yang bahkan belum tentu bisa kita nikmati. Lalu, tiba-tiba hidup berkata, "Waktumu tersisa enam bulan lagi."
Dan itulah yang terjadi pada Althea Collins Nabastala, dua puluh dua tahun, mahasiswi desain grafis semester akhir yang baru saja selesai UAS, masih punya utang dua tugas akhir, dan belum sempat mengajukan magang.
Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Angin bertiup pelan, membelai jendela ruang tunggu rumah sakit yang sunyi. Aroma disinfektan yang menyengat bercampur dengan aroma kopi dari gelas karton di tangan Althea. Matanya sembab, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat biasa. Duduk di kursi tunggu yang dingin, ia memainkan bibir gelas kartonnya sambil menatap papan nama yang terpampang di depan ruangan: Dr. Ganesha Mahendra, Sp.PD-KHOM - Onkologi Hematologi Medik.
"Althea Collins Nabastala?" suara suster memanggil dari pintu.
Althea berdiri dengan tubuh gemetar. Ini sudah kunjungan ketiganya setelah pemeriksaan mendalam dilakukan. Hari ini seharusnya hari di mana hasil lab, CT scan, dan semua tes aneh-aneh itu keluar.
Saat ia melangkah masuk ke ruangan dokter, dunia seperti mengecil. Seluruh suara seperti tenggelam dalam satu titik fokus—detak jantungnya sendiri.
"Silakan duduk, Althea," ujar dokter Ganesha, pria paruh baya dengan wajah tenang dan nada suara seperti seseorang yang sudah terlalu sering menyampaikan kabar buruk.
Althea duduk. Tangannya dingin. Matanya menatap kosong ke arah meja kayu yang rapi.
"Gimana, Dok?" tanyanya singkat.
Dokter Ganesha membuka map berwarna biru tua, lalu menarik napas pelan.
"Althea," katanya perlahan, "saya tahu ini bukan hal yang mudah untuk kamu dengar."
Althea tertawa kecil. "Kalau gitu langsung aja, Dok. Saya udah siap."
Ada jeda dua detik yang terasa seperti dua tahun. "Kamu didiagnosis menderita leukemia akut stadium lanjut. Dari hasil pemeriksaan, sel kanker menyebar sangat cepat, dan kondisi ini cukup agresif. Kami memperkirakan, kamu bisa bertahan hidup dengan kondisi yang seperti ini… hanya dalam waktu enam bulan."
Hening.
Althea tidak menangis. Tidak langsung syok. Tidak juga marah. Ia hanya mematung di kursinya.
"Enam bulan?" ulangnya, seperti ingin memastikan ia tidak salah dengar.
Dokter Ganesha mengangguk pelan. "Kami akan tetap berusaha. Ada beberapa metode terapi paliatif yang bisa membuat kamu merasa lebih nyaman. Tapi—"
"Enggak bisa sembuh?" potong Althea.
"Saat ini, tidak ada metode yang benar-benar efektif untuk kondisi kamu."
Althea mengangguk. Ia berdiri pelan, lalu tersenyum datar. "Baik, Dok."
"Althea—"
"Enggak papa, Dok," katanya sambil mengangkat tangan. "Saya cuma butuh waktu sendiri. Makasih, Dok."
Sebelum dokter sempat mengatakan apa pun lagi, Althea sudah keluar dari ruangan.
***
Duduk di halte dekat rumah sakit, Althea membuka ponselnya dan menatap layar kosong. Notifikasi masuk menumpuk—dari grup kampus, dari ibunya, dan juga dari teman SMA-nya yang mengajak dirinya nongkrong akhir pekan ini.
Ia mendesah panjang, lalu membuka aplikasi catatan dan menulis satu kalimat.
Dihukum mati tanpa sidang.
Kemudian ia menulis lagi.
Kalau hidup gue cuma tinggal enam bulan lagi, gue pengen nyobain semua hal yang belum pernah gue lakuin.
Ia berhenti sebentar, lalu menulis sebuah daftar.
Travelling ke tempat random