Pagi itu, Jakarta diguyur hujan. Tidak deras, hanya gerimis tipis yang menggantung di jendela, seperti perasaan yang juga menggantung di dada Althea saat ia membuka mata.
Ia menemukan dirinya sendirian di tempat tidur hotel yang kini terasa sangat familiar. Selimut yang hangat, aroma kayu manis dari diffuser di sudut ruangan, dan bunyi tipis hujan di luar—semuanya seperti menciptakan ruang kecil yang nyaman, tapi menyesakkan.
Luca tidak ada di kamar.
Althea bangkit dan mengenakan jubah mandi putih yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. Rambutnya masih berantakan. Wajahnya tanpa riasan. Tapi matanya sudah penuh kesadaran.
Ia melangkah ke ruang tengah dan melihat Luca sedang duduk di balkon, mengenakan sweater abu-abu, dengan secangkir kopi di tangan dan laptop di pangkuannya.
“Lo kerja?” tanya Althea sambil berdiri di ambang pintu kaca.
Luca menoleh. “Iya, bentar aja. Ada email dari board direktur.”
Althea mengangguk pelan. “Santai aja. Gue juga baru bangun. Lo nggak mesan sarapan?”
Luca tersenyum tipis. “Gue nunggu lo bangun. Ntar gue panggil room service. Lo mau apa?”
“Roti bakar sama scrambled egg. Sama teh manis.”
Luca mengangguk, lalu berdiri dan masuk ke dalam untuk menelepon pelayanan kamar.
Althea duduk di sofa, menarik lututnya ke dada, lalu menatap hujan dari balik jendela.
Tiga hari. Itu waktu yang Luca minta. Dan sekarang hari ketiga. Entah kenapa, Althea tidak siap.
Bukan karena perpisahan, tapi karena dia mulai terbiasa dengan kehadiran Luca. Dengan cara pria itu diam tapi memperhatikan. Dingin tapi hangat di sela-selanya. Rasanya seperti naik roller coaster tanpa sabuk pengaman—berbahaya, tapi menegangkan dalam cara yang anehnya menyenangkan.
“Lo kenapa bengong?” suara Luca membuyarkan lamunannya.
“Enggak. Cuma mikir... ini hari terakhir, ya?”
Luca menatapnya. “Lo hitungin?”
Althea nyengir. “Kan, lo yang bilang tiga hari. Gue pikir lo orangnya disiplin banget sama waktu.”
“Gue juga bisa impulsif,” jawab Luca sambil duduk di sofa seberang. “Apalagi kalau yang gue temuin... lebih dari yang gue duga.”
Althea mengerutkan kening. “Maksud lo?”
Luca meneguk kopinya sebelum menjawab. “Gue kira lo bakal jadi tiga hari biasa. Tapi ternyata... lo kayak pintu ke tempat yang selama ini nggak pernah gue berani buka.”
Althea tertawa pelan. “Gue pintu sekarang?”
“Lo... sesuatu yang ngebikin gue ngerasa jadi manusia lagi.”
Keduanya terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara. Bukan gombal. Bukan basa-basi. Tapi terlalu jujur untuk diabaikan.
“Gue takut, Luc,” gumam Althea akhirnya.
Luca mengernyit. “Takut kenapa?”
“Takut ngerasa nyaman. Karena kalo gue udah nyaman, gue pasti pengen lebih. Dan kalo gue pengen lebih, gue takut kecewa. Gue takut sedih... pas ninggalin lo.”
Luca menatapnya. Lama. Tapi bukan tatapan simpati. Lebih seperti perasaan yang ingin disampaikan tapi belum punya kata-katanya sendiri.
“Lo boleh takut,” ujarnya pelan. “Karena gue juga takut, Lia.”
“Lo? Takut?” Althea tersenyum miring. “Lo tuh CEO. Punya segalanya. Takut apaan?”
Luca mengangkat bahu. “Takut kehilangan rasa. Selama ini hidup gue cuma soal angka, presentasi, rapat, grafik. Gue bahkan lupa rasanya... bangun pagi dan pengen ketemu seseorang.”
Kalimat itu membuat Althea memalingkan wajah. Ia pura-pura melihat ke luar jendela, padahal hatinya sedang berontak. Ia tidak tahu harus senang atau justru takut mendengar pernyataan seperti itu dari pria sekelas Luca.