Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #4

Yang Pergi Tanpa Pamit

Luca terbangun pelan, mengerjapkan mata menatap langit-langit kamar hotel yang sudah mulai diterangi sinar matahari. Tidak ada suara dari kamar mandi. Tidak ada aroma teh yang diseduh. Tidak ada riuh napas atau gerakan kecil dari sebelahnya.

Ia menoleh ke kanan. Kosong.

Selimut terlipat rapi. Bantal tidak lagi hangat.

Hatinya langsung terasa aneh. Perasaan tidak tenang yang datang begitu saja.

“Lia?” panggilnya setengah sadar.

Tidak ada jawaban.

Ia bangkit. Berdiri, lalu melangkah ke kamar mandi. Kosong. Tirai balkon juga tidak bergeser. Bahkan diffuser aroma kayu manis yang biasa dinyalakan oleh gadis itu pun sudah mati sejak entah kapan.

Ruangan terasa lebih hampa dari biasanya.

Luca mengacak rambutnya pelan, menghela napas panjang. Entah mengapa, ia merasa ditinggalkan.

Tiba-tiba, matanya menangkap secarik kertas kecil di atas meja kaca dekat sofa. Terlipat rapi, seolah sengaja diletakkan agar mudah terlihat. Ia mengenali tulisan tangan itu. Garisnya ringan, miring ke kanan, dan sangat khas.

Dengan alis berkerut, Luca mengambil kertas itu dan membukanya perlahan. Tulisan di dalamnya membuatnya diam cukup lama.

"Thanks for making me feel alive. Don’t look for me. –A."

Bukan Lia. Tapi A.

Luca membacanya dua kali. Tiga kali. Lalu duduk di sofa dengan surat itu masih tergenggam di tangan.

Don’t look for me.

Dada Luca tiba-tiba terasa sesak. Ada tekanan yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ditinggal seseorang sebelum sempat mengenalnya lebih jauh.

Ia menunduk. Menahan napas. Menyandarkan kepala ke sofa.

Tiga hari. Gadis itu hadir hanya tiga hari. Tapi luka yang ditinggalkannya seolah menggantikan tahun-tahun kosong yang pernah ia lewati.

Lia—atau A—pergi tanpa pamit.

Dan lebih parahnya lagi, Luca menyadari satu hal. Dia tidak tahu apa pun soal gadis itu.

Ia bahkan tidak tahu nama aslinya.

***

Sepuluh menit berlalu. Luca masih duduk di tempat yang sama. Pikirannya berkecamuk.

Ia mencoba mengingat kembali percakapan mereka. Tentang masa kecil Lia, tentang musik yang ia suka, tentang makanan pedas yang ia benci, tentang penyakit yang katanya menggerogoti hidupnya. Tapi tidak pernah sekalipun Lia menyebut nama lengkapnya. Tidak ada detail soal keluarganya. Tidak ada info tentang pekerjaannya, latar belakangnya, bahkan usia aslinya.

Ia selalu menghindar ketika ditanya terlalu dalam.

Ia hanya mengatakan, “Gue cuma mau jadi seseorang yang lo temui sekali seumur hidup, bukan yang lo tulis CV-nya di kepala.”

Luca baru sadar—Lia datang sebagai teka-teki. Dan sekarang, ia pergi sebelum Luca sempat menyelesaikan teka-teki itu.

Lihat selengkapnya