Langit Jakarta pagi itu mendung, seolah ikut meresapi perasaan yang berlapis di dalam dada Luca. Sudah dua hari sejak Gilang memberikan data lengkap tentang seseorang yang dulu ia kenal sebagai Lia. Dan hingga saat itu juga, nama "Althea Collins Nabastala" terus bergema dalam pikirannya.
Luca belum bergerak. Bukan karena ragu. Tapi karena ia tahu, satu langkah salah, dan gadis itu akan menghilang lagiākali ini mungkin untuk selamanya.
Ia menatap layar laptopnya yang menampilkan halaman situs kampus Althea. Jurusan desain grafis, semester akhir. Nama Althea tertera di daftar peserta pameran tugas akhir yang akan diadakan bulan depan. Di sana, nama lengkapnya tertulis jelas: Althea Collins Nabastala - Proyek Visual "Batas".
"Batas," gumam Luca. "Pas banget."
Lalu ia menutup laptop dan berdiri, meraih jaket dan kunci mobil. Hari ini, dia tidak akan hanya duduk diam.
***
Luca menyamar.
Kemeja abu-abu polos, celana jeans, sneakers hitam, dan masker hitam yang menutupi setengah wajahnya. Rambutnya ia biarkan sedikit berantakan, tak seperti biasanya yang selalu rapi. Ia berjalan menyusuri area kampus swasta itu, berpura-pura seperti siapa pun.
Tidak sulit untuk tahu di mana fakultas desain berada. Banner warna-warni penuh sketsa dan karya seni terpampang di dinding. Beberapa mahasiswa lalu lalang dengan membawa gulungan kertas besar dan tablet gambar.
Dan di antara keramaian itu, Luca melihatnya.
Althea.
Gadis itu duduk sendirian di pojok taman kampus, di bawah pohon ketapang, dengan sketchbook di pangkuannya. Ia mengenakan hoodie hitam, celana kulot abu-abu, dan sepatu kanvas putih yang sudah sedikit usang.
Luca berhenti di balik tiang lampu taman, cukup jauh agar tidak mencolok, tapi cukup dekat untuk melihat jelas ekspresi gadis itu.
Althea tampak fokus. Matanya serius menatap kertas. Tapi dari sudut tertentu, bahunya terlihat sedikit turun. Napasnya berat. Dan ada ekspresi kosong yang sesekali menyelinap di antara sorot matanya yang tenang.
Dia ngasih topeng ke semua orang, pikir Luca. Sama kayak waktu sama gue.
Ia berdiri di sana cukup lama.
Tidak menyapa.
Tidak mendekat.
Hanya menunggu.
***
Selama beberapa hari ke depan, Luca terus datang. Bukan untuk memaksa. Tapi untuk memahami.
Kadang ia hanya duduk di mobilnya, memerhatikan dari kejauhan saat Althea keluar dari gerbang kampus dan berjalan kaki ke arah halte. Kadang ia melihatnya di taman kampus, duduk bersama satu dua teman, tapi lebih sering sendirian.
Dan ada satu sore, saat hujan turun, Althea duduk di halte dengan wajah pucat, sesekali memegang perutnya, lalu buru-buru meminum obat dari botol kecil.
Luca ingin keluar saat itu juga. Tapi ia menahan diri. Ia ingat pesan di surat Althea. Don't look for me.
Tapi rasa khawatir itu terlalu nyata untuk diabaikan.
***
Malamnya, Luca menghubungi Gilang.