Ponsel Althea tergeletak di atas meja belajar. Layarnya gelap, tidak ada notifikasi. Sudah dua jam sejak ia mengirimkan pesan itu, dan belum ada tanda-tanda balasan.
Ia tidak berharap banyak. Sungguh. Pesannya pun sangat sederhana. Hanya empat kata. "Apa lo masih di situ?"
Tanpa nama. Tanpa identitas. Tanpa penjelasan siapa pengirimnya.
Pesan itu dikirim melalui akun anonim yang sama seperti saat pertama kali mereka saling kenal di forum underground itu. Akun yang kini terasa begitu asing-padahal, di sanalah cerita mereka dimulai.
Dan kini, Althea menatap layar itu seakan berharap keajaiban akan muncul.
Tapi tidak ada apa-apa.
Hening.
Kosong.
Seperti ruang yang perlahan ditinggalkan oleh napas dan harapan.
***
Luca membaca pesan itu di tengah pertemuan dengan jajaran direksi. Ia tidak tahu kenapa hari itu ia masih tetap membuka forum itu. Padahal, setelah Althea pergi, ia tidak pernah menyentuh akun itu lagi.
Tapi pagi itu, ia membuka laptop, masuk ke akun yang sama, dan ada satu pesan masuk.
"Apa lo masih di situ?"
Tanpa nama.
Tanpa tanda.
Tapi ia tahu. Itu dari dia.
Luca memandangi pesan itu lama. Jari-jarinya menyentuh keyboard, hendak membalas. Tapi ia ragu. Pikirannya berputar cepat.
Kalau dia langsung menjawab, akankah Althea kabur lagi?
Kalau dia terlihat terlalu bersemangat, akankah gadis itu menghilang untuk kedua kalinya?
Ia menggigit bibir bawahnya, menutup laptop dengan pelan.
Kadang, cinta yang besar pun harus menunggu saat yang tepat untuk bicara.
Masalahnya, kapan saat itu datang?
***
Hari berganti malam. Malam berganti pagi. Dan pesan itu masih belum dibalas.
Althea memeluk lututnya di tepi ranjang. Tatapannya kosong. Di kamarnya yang kecil dan lembap, hanya suara kipas angin yang terdengar jelas.
"Gue udah salah langkah, ya?" bisiknya.
"Gue harusnya nggak kirim pesan itu."
Tapi kemudian, ia ingat senyum tipis Luca waktu pertama kali mereka makan bersama. Senyum yang jarang muncul, tapi begitu tulus. Senyum yang membuat Althea ingin bertahan sedikit lebih lama.
Hati manusia memang aneh. Saat ia mencoba menjauh, justru rasa itu makin lekat. Dan ketika ia mencoba mendekat, rasa takut malah datang menyergap.
Althea menutup mata. Teringat akan malam terakhir mereka. Teringat cara Luca menyentuh pipinya, menatap matanya seolah ia adalah satu-satunya perempuan yang penting di dunia ini.
Tapi malam itu juga, ia memutuskan untuk pergi.
"Jadi, ini harga dari keputusan gue sendiri," batinnya.
Dan ia harus menelan konsekuensinya-sendiri.