Pagi itu, sinar matahari menyusup pelan ke sela-sela tirai jendela apartemen Luca. Udara dingin dari AC masih menggantung di ruang tamu, namun aroma kopi hitam dan roti panggang menghangatkan suasana.
Althea duduk di stool bar dapur, mengenakan hoodie abu-abu kebesaran milik Luca. Tangannya memeluk cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Di hadapannya, sepiring roti isi telur dengan keju meleleh sudah tertata rapi.
“Lo beneran bikin ini sendiri?” tanya Althea sambil mencolek pinggiran roti.
Luca, yang masih berdiri di dekat kompor dengan tangan bersedekap, mengangguk santai. “Kalau ada lomba CEO masak pagi-pagi, gue menang telak.”
Althea tertawa kecil. “Boleh juga. Jadi lo bukan tipe yang cuma bisa manggil chef pribadi, ya?”
“Chef pribadi gue lagi cuti. Namanya Luca Alvarez Dwipantara. Ganteng, sabar, dan gak bisa berhenti mikirin lo.”
Althea mendecak, “Ih, gombal,” tapi pipinya merona tipis.
“Gue serius,” sahut Luca, lalu berjalan mendekat, duduk di seberang Althea. “Gue suka pagi kayak gini. Lo bangun, duduk diam, terus kita sarapan sambil ngobrol receh.”
“Receh?” Althea mengangkat alis.
“Kayak nanya, ‘Lo lebih suka telur setengah mateng atau mateng banget?’ Gitu.”
Althea tertawa lagi. “Gue suka yang mateng. Tapi bukan karena gue takut sama salmonella. Gue cuma... suka semua yang pasti.”
Luca diam sejenak, lalu mengangguk. “Iya. Yang pasti memang selalu bikin tenang.”
Hening menyapa sejenak.
Lalu Althea bicara pelan, “Luc, gue boleh nanya sesuatu gak?”
“Nanya kapan kita ke KUA?”
Althea menatapnya tajam.
“Ya boleh, boleh,” sahut Luca buru-buru sambil tertawa.
“Lo pernah mikir gak... kenapa lo masih mau ada di samping gue?” Althea menunduk. “Maksud gue, dengan semua yang lo punya, lo bisa aja milih cewek mana pun yang sehat, cantik, dan... punya masa depan.”
Luca tidak langsung menjawab. Ia menatap Althea cukup lama hingga gadis itu mulai gelisah.
“Gue gak cari masa depan, Thea. Gue cari makna,” kata Luca akhirnya. “Dan makna itu, gue temuin waktu lo ngetok pintu kamar gue malam itu. Waktu lo bilang lo pengen ngerasain hidup.”
Althea terdiam.
Luca melanjutkan, “Gue pengen ngasih lo hidup itu. Gak banyak, gak panjang. Tapi nyata.”
Althea menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Lalu, tiba-tiba Luca berdiri dan mengambil sesuatu dari rak dekat meja makan. Sebuah kertas berwarna cokelat kekuningan, seperti kertas kraft.
Dia meletakkannya di atas meja, lalu duduk kembali.
“Ini apaan?” tanya Althea.
“Daftar,” sahut Luca, sambil mengeluarkan spidol hitam dari kantong hoodie-nya.
“Daftar belanja?”
“Daftar hal-hal yang kita bakal lakuin bareng sebelum lo bosen sama gue.”
Althea terkekeh. “Sotoy amat lo. Emangnya gue bakal bosen?”
“Makanya gue siapin daftarnya. Biar lo gak sempat bosen.”
Althea tertawa, lalu meraih spidol di tangan Luca. Ia menatap kertas kosong itu, lalu menulis huruf pertama.
1. Naik motor berdua keliling Jakarta tengah malam.
Luca membacanya dan tersenyum. “Naik motor butut boleh?”