Jam menunjukkan pukul dua pagi saat Althea membuka matanya. Cahaya lampu tidur di pojok kamar apartemen Luca menyinari sebagian wajahnya. Napasnya pendek-pendek, dadanya sesak. Ia bangkit perlahan, menahan rasa mual yang datang tiba-tiba, lalu turun dari tempat tidur.
Ia berjalan pelan ke kamar mandi, tanpa membangunkan Luca. Begitu pintu tertutup, Althea jongkok di samping kloset. Tangannya menggenggam sisi wastafel erat-erat, sementara keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Setelah beberapa menit berlalu, ia akhirnya bisa berdiri lagi. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia mencipratkan air ke wajahnya, mengusapnya perlahan, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.
“Jangan sekarang,” bisiknya pada bayangannya sendiri. “Tolong jangan sekarang.”
Ia tahu tubuhnya sudah mulai tidak bisa diajak kompromi. Tapi ia juga tahu, ia belum siap membuat Luca khawatir lagi.
Untuk kesekian kalinya.
***
Besok paginya, Althea duduk di meja dapur seperti biasa, mengenakan hoodie Luca yang kebesaran. Di tangannya ada spidol dan daftar yang makin panjang itu.
“Gue tambahin satu lagi, ya,” katanya pada Luca yang baru keluar dari kamar dengan rambut berantakan.
Luca menguap sambil menyeduh kopi. “Apaan tuh?”
Althea menulis sambil tersenyum kecil.
22. Bikin tato bareng.
Luca mengangkat alis. “Lo serius?”
Althea ngangguk. “Tato kecil aja. Gambar bulan sabit kek, atau koordinat tempat pertama kita ketemu. Lucu, kan?”
Luca berjalan pelan ke arahnya, lalu duduk di sebelahnya. “Gue, sih, mau-mau aja. Tapi lo kuat?”
Althea pura-pura manyun. “Jangan mulai, deh, nyindir stamina gue.”
“Bukan nyindir. Cuma nanya aja, Thea Sayang," ujar Luca sesaat setelah mengecup sekilas bibir ranumnya Althea.
Kedua pipi Althea langsung merona saat mendengar kata "sayang" dari mulutnya Luca. “Gue kuat, Mas Lucaku Sayang” balas Althea yang berhasil membuat Luca terseyum senang.
"Lo manggil gue 'mas'?"
"Iya. Mas tukang bakso."
"Oke. Enggak gue izinin buat tato."
“Ia, ia, Masku Sayang." Althea langsung mengubah kembali ucapannya. "Boleh, kan?"
Luca mengangguk, tapi tatapannya sedikit berubah. Bukan tidak percaya. Tapi mulai mencium sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat darinya.
***
Sudah tiga hari berturut-turut Althea tidak makan dengan lahap. Porsi makannya mengecil, bahkan kadang cuma memaksakan satu-dua suap. Setiap kali Luca tanya, ia cuma menjawab.
“Lagi gak nafsu.”
“Perut gue agak begah.”
“Gak apa-apa kok, ntar juga balik lagi.”
Luca mengangguk setiap kali, tapi diam-diam mulai mencatat semuanya. Ia menyadari gerak tubuh Althea makin lambat. Kadang tangannya gemetar kalau sedang menulis. Kadang jalannya agak goyah. Tapi gadis itu selalu berusaha terlihat baik-baik saja.
Dan Luca tahu kenapa.