Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #11

Tidak Ada Kabar

Sudah dua puluh sembilan jam sejak Althea terakhir kali mengirim pesan.

Luca duduk di sofa ruang tamu, laptop terbuka di depannya, tapi layar itu sudah berjam-jam tak tersentuh. Kopi di meja sudah dingin, dan matanya terus melirik ke arah pintu masuk apartemen—seolah berharap suara pintu terbuka dan gadis itu muncul sambil menunjukkan cengiran dengan gaya khasnya.

Tapi tidak ada suara.

Tidak ada kabar.

Terakhir kali mereka bersama, Althea tertawa sepanjang perjalanan pulang. Ia masih sempat menulis tambahan di daftar mereka saat sudah meringkuk di sofa.

32. Mau hari kayak gini lagi. Meskipun cuma mimpi.

Lalu pagi harinya, saat Luca bangun, Althea sudah tidak ada di tempat tidur. Hanya ada post-it lain yang menempel di lemari es.

“Enggak usah khawatir. Gue cuma mau ngurus sesuatu. Nanti gue kabarin. –A”

Tapi itu dua hari yang lalu.

Dan tidak ada kabar apa pun setelahnya.

***

Luca mencoba menelepon berkali-kali. Nomor Althea aktif, tapi tidak diangkat.

Ia bahkan mencoba menghubungi beberapa teman kuliah Althea—yang nomornya ia dapatkan dari folder digital milik gadis itu, tempat mereka biasa berbagi playlist.

“Sorry banget, Kak, aku juga gak tahu. Terakhir dia aktif di grup dua hari yang lalu, habis itu udah gak pernah bales pesan lagi,” ujar seorang teman Althea di telepon.

Kata-kata itu membuat dada Luca makin berat.

Ia bukan tipe yang cepat panik dan Althea bukan tipe yang menghilang begitu saja. Apalagi setelah apa yang mereka lalui.

Dan yang membuat segalanya makin menghantui adalah—Luca tahu Althea sedang menahan sesuatu.

Sesak, mual, lelah, semua makin sering terjadi, meski tak pernah diakui gadis itu.

Malam hari kedua, Luca tidak tahan lagi. Ia mengendarai mobilnya menembus gerimis Jakarta menuju tempat terakhir yang ia pikir bisa jadi pelarian Althea.

***

Sebuah rumah kos sederhana di daerah Rawamangun. Bukan tempat yang biasa dihuni anak orang kaya, tapi justru tempat Althea tinggal sebelum mereka mulai berbagi hari di apartemen Luca.

Begitu sampai, Luca turun dari mobil tanpa payung, membiarkan bajunya basah. Ia mengetuk pintu rumah kos dengan degup jantung yang hampir menyakitkan.

Seorang ibu paruh baya membuka pintu, terkejut saat melihatnya.

“Maaf, Bu,” kata Luca sopan. “Saya nyari Althea. Althea Collins. Dia pernah tinggal di sini, kan?”

Wajah ibu itu berubah. “Oh... iya, iya. Anak manis itu,” katanya. “Kamu siapa, ya?”

“Saya... teman dekatnya, Bu.”

Ibu itu mengangguk pelan. “Dia baru datang kemarin sore. Langsung masuk kamar. Tapi sejak tadi pagi... gak keluar-keluar. Saya sempat ketok, tapi gak ada jawaban.”

Dada Luca langsung sesak. “Kuncinya... saya boleh masuk, Bu?”

Lihat selengkapnya