Hari itu, matahari pagi terasa berbeda dari biasanya. Langit tak sepenuhnya cerah, tapi cahaya yang masuk lewat jendela kamar rawat inap Althea terasa hangat. Sinar itu menyapu wajahnya yang pucat, membuat matanya sedikit menyipit saat pelan-pelan terbuka. Suara ketikan laptop terdengar di seberang ranjang.
Althea melirik ke arah sumber suara, lalu tersenyum samar melihat Luca yang tengah sibuk mengetik, duduk di sofa yang sudah mulai menunjukkan tanda kelelahan usia.
“Lo kerja?” gumam Althea dengan suara parau.
Luca menoleh cepat, seolah baru sadar Althea sudah bangun. Ia langsung menutup laptopnya dan mendekat.
“Bukan. Gue nyiapin sesuatu,” jawabnya sambil mencium punggung tangan Althea.
“Nyusun strategi merger dua hati dan satu nyawa?” tanya Althea, senyum lelahnya muncul.
“Kurang lebih,” sahut Luca. “Tapi ini strategi dadakan. Fokusnya cuma satu. Bikin hari ini jadi hari yang bakal lo inget terus.”
Althea menatapnya heran. “Hari ini tanggal berapa, sih? Gue sampe gak tahu…”
“Bukan soal tanggal, Thea. Tapi soal makna. Dan hari ini gue mau bikin sesuatu yang punya makna.”
“Luc… gue udah cukup bahagia sama yang kemarin. Gue gak butuh lagi kejutan,” bisiknya.
“Lo gak butuh. Tapi gue pengen ngasih.” Luca berdiri, lalu menatapnya penuh kesungguhan. “Gue butuh lo kuat hari ini. Boleh?”
Althea menatap wajah itu, wajah yang selalu penuh percaya diri, tapi kali ini justru terlihat rapuh, takut. Lalu ia mengangguk pelan.
“Kalau lo yang minta, gue bakal coba.”
***
Dua jam kemudian, Althea duduk di kursi roda, mengenakan dress putih polos yang disiapkan Luca semalam. Dress itu sederhana, tapi potongannya pas dengan tubuh mungilnya. Bibirnya masih sedikit pucat, tapi pipinya tampak lebih berwarna dibanding hari sebelumnya.
Saat pintu ruang rapat di lantai tujuh dibuka, matanya langsung melebar.
Ruangan yang biasanya kosong dan dingin itu telah berubah total. Lampu-lampu kecil digantung melintang di atas langit-langit, mengelilingi ruangan dengan kilau kekuningan yang hangat. Dindingnya ditempeli banyak foto polaroid—Althea dan Luca di berbagai momen, dari yang absurd sampai menyentuh.
Ada foto mereka naik bajaj, selfie di minimarket, cengengesan waktu main di taman, dan satu foto di mana Althea tampak tertidur di bahu Luca saat menonton film.
Di tengah ruangan, sebuah meja panjang didekorasi dengan taplak putih, dua lilin kecil, bunga kering, dan satu kue sederhana berwarna hijau muda.
“Luc…” gumam Althea, suaranya gemetar. “Ini… lo ngapain, sih…?”
“Selamat ulang tahun, kelulusan, dan pernikahan… semua dalam satu hari,” jawab Luca sambil membuka tangan, seolah mempersembahkan semua ini untuknya.
Althea menatapnya tak percaya. “Gue… bahkan gak lahir hari ini, tahu!”
“Siapa bilang lo gak boleh punya ulang tahun tambahan?” sahut Luca, mendorong kursi roda Althea masuk ke tengah ruangan.
“Luc, ini terlalu lebay…”
“Gue emang lebay kalau udah urusan lo.”
Di ujung ruangan, berdiri seorang wanita tua dengan rambut perak dan senyum mengembang. Ia mengenakan blazer krem dan sepatu datar, dengan clipboard kecil di tangannya.
“Ini Bu Yuli. Teman lama nyokap gue,” jelas Luca. “Dia akan mimpin… ya semacam upacara hidup lo.”
Althea tertawa tertahan, tapi air matanya langsung jatuh. Ia buru-buru menghapusnya.
“Gue... belum pernah dirayain kayak gini,” bisiknya.
***