Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #14

Yang Tak Terlihat oleh Mata

Sore itu, Jakarta diguyur hujan deras. Di luar jendela rumah sakit, langit kelabu meneteskan rintik-rintik air seolah ikut merasakan kepedihan yang memenuhi ruang rawat inap Althea. Di dalam ruangan, lampu dinyalakan lebih awal dari biasanya. Cahaya putih hangatnya jatuh di atas kulit pucat Althea yang kini tertidur dengan tabung oksigen menempel di hidungnya.

Luca duduk di samping ranjangnya, tak beranjak sedikit pun sejak pagi. Ia menggenggam tangan Althea yang dingin. Tangan yang sama yang dulu menariknya masuk ke dunia yang jauh dari perhitungan dan logika.

Sudah beberapa hari ini kondisi Althea menurun drastis. Tenaganya menipis. Sering pusing. Mual. Bahkan kesadarannya sering kabur. Dokter menyebutkan ini sebagai progresi stadium akhir. Tapi Luca, entah kenapa, merasakan kejanggalan.

Bukan soal keajaiban. Bukan soal penyangkalan. Tapi insting dan kekhawatiran. Dua hal yang sering menuntunnya sebagai seorang CEO—dan kali ini, sebagai pria yang tengah dijatuhi cinta.

***

Dua hari sebelumnya, saat Althea tertidur, Luca diam-diam menemui dokter yang selama ini menangani Althea—Dr. Ganesha Mahendra, seorang ahli hematologi onkologi dewasa berusia akhir empat puluhan. Sikapnya tenang dan penuh wibawa, seperti gunung yang tak mudah digoyahkan. Luca mengetuk pintu ruangannya dengan hati-hati, membawa setumpuk hasil lab dan rasa ragu yang menyesakkan dada.

“Dok, saya ingin bicara secara pribadi,” kata Luca, menahan ketegangan.

Dr. Ganesha menatapnya sebentar, lalu memberi isyarat untuk duduk. “Silakan, Pak Luca.”

Luca membuka map hasil pemeriksaan, memperlihatkan salinan dari semua hasil tes Althea sejak awal: darah, sumsum tulang, MRI, hingga scan terakhir.

“Saya bukan dokter, tapi saya punya banyak koneksi. Saya sudah kirimkan semua ini ke salah satu profesor di Tokyo, Jepang. Dan hasilnya... agak berbeda.”

Alis dokter Ganesha terangkat. “Berbeda bagaimana?”

Luca menarik napas. “Selama ini Althea didiagnosis menderita leukemia mieloblastik akut, stadium lanjut. Saya percaya, karena gejala dan hasil biopsi tampak mendukung. Tapi, Profesor Kenji Takamura dari Tokyo University Hospital mengkaji ulang semua data dan menemukan indikasi bahwa ada kesalahan dalam interpretasi awal.”

“Kesalahan?”

“Iya. Menurut Profesor Kenji, Althea kemungkinan besar menderita sindrom mielodisplasia kronik—sebuah kondisi autoimun langka yang menyerupai leukemia akut. Beberapa penanda biokimia dan histopatologinya sangat mirip, makanya mudah keliru.”

Dokter Ganesha terdiam. Wajahnya tidak langsung menunjukkan keterkejutan, tapi matanya menelusuri ulang hasil lab di depannya dengan saksama.

“Saya tahu ini bukan tuduhan, Dok. Saya paham betul rumah sakit ini punya kredibilitas tinggi. Tapi... saya mohon. Setidaknya, beri kami kesempatan untuk verifikasi ulang.”

Dokter Ganesha menutup map. Ia bersandar di kursi, menatap Luca dengan mata yang lebih lembut sekarang.

“Baik. Saya hormati niat Anda. Tapi saya minta satu hal.”

“Apa pun,” jawab Luca cepat.

“Jangan beri tahu Althea dulu. Jangan bangkitkan harapan yang belum pasti. Saya akan bantu Anda urus surat rujukan ke Tokyo. Tapi Anda harus berangkat dalam tiga hari.”

“Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak.”

Dan sejak hari itu, Luca menyimpan kabar itu rapat-rapat.

***

Sehari sebelum keberangkatan Luca dan Althea ke Jepang.

Hari itu, Althea bangun dalam keadaan limbung. Bibirnya pucat. Tatapannya kosong.

“Luc...” katanya pelan.

Lihat selengkapnya