Althea belum pernah merasakan pagi seperti ini sebelumnya. Cahaya matahari menembus tirai jendela hotel mereka di Tokyo, menyentuh pipinya dengan hangat dan lembut. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, ia tidak bangun dengan rasa takut akan kematian. Tidak ada dentuman hitungan mundur di dalam dadanya, tidak ada pengingat bahwa hari ini mungkin adalah hari terakhirnya.
Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar hotel dengan pandangan kosong yang pelan-pelan diisi oleh rasa damai. Di sebelahnya, Luca masih tertidur, dengan wajah lelah tapi tenang. Ia terlihat lebih muda ketika sedang tidur, dan untuk sejenak, Althea merasa seperti kembali ke kehidupan biasa, kehidupan yang tidak dihantui oleh diagnosa dokter.
Ia menoleh pelan dan menyentuh lengan Luca. Pria itu langsung menggeliat sedikit lalu membuka matanya. Tatapannya langsung jatuh pada wajah Althea yang tersenyum.
"Lo udah bangun?" gumam Luca dengan suara serak.
"Udah. Dan gue ngerasa... beda."
"Beda gimana?"
Althea memejamkan mata sejenak. "Gue bangun pagi ini dan ngerasa kayak... hidup. Bukan sekadar napas doang, tapi hidup beneran."
Luca tersenyum, tangannya menyentuh pipi Althea. "Karena lo emang hidup. Lo dikasih kesempatan kedua, Thea."
Althea mengangguk pelan. "Tapi jujur aja, Luc... gue takut."
"Takut kenapa?"
"Takut gak tahu gimana cara hidup normal lagi. Selama enam bulan, gue udah siap mati. Semua hal gue lakuin dengan pikiran 'ini terakhir'. Sekarang... semua itu kayak balik ke titik nol."
Luca bangkit pelan, menyandarkan punggungnya di headboard tempat tidur. Ia menarik Althea mendekat, membiarkan kepala gadis itu bersandar di dadanya.
"Kalau lo harus belajar dari nol lagi, gue temenin," bisiknya. "Kita belajar bareng. Pelan-pelan. Lo gak sendirian."
Althea memejamkan mata. Rasa hangat mengalir di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa aman.
***
Hari-hari di Tokyo menjadi waktu transisi bagi Althea. Setelah mendapat kabar bahwa dirinya tidak sekarat, Althea menjalani serangkaian terapi ringan dan pemulihan. Dokter Takamura menjadwalkan program imunomodulator jangka panjang dan diet khusus, sambil tetap melakukan evaluasi rutin setiap dua minggu.
Tapi pemulihan fisik hanyalah satu sisi dari proses yang harus ia lalui. Yang lebih sulit adalah pemulihan batin.
Althea sering menangis tanpa alasan. Kadang tengah malam ia terbangun dengan napas memburu, lupa bahwa dirinya sudah tidak lagi dalam bahaya. Kadang ia masih menulis surat-surat perpisahan, kemudian merobeknya keesokan hari. Ia pernah bahkan menangis di depan cermin hanya karena menyadari wajahnya masih sama seperti dulu, padahal hidupnya telah berubah total.
Dan Luca... Luca selalu ada di sampingnya. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah menuntut. Pria itu belajar sabar dalam level yang belum pernah ia pahami sebelumnya. Ia belajar bahwa mencintai orang yang sedang dalam masa pemulihan berarti menerima bahwa kemajuan tidak selalu linear.
Suatu sore, mereka duduk di taman Shinjuku Gyoen. Angin dingin membawa harum bunga plum yang mulai bermekaran.
"Lo tahu nggak?" kata Althea pelan, sambil menatap sekeliling. "Gue pernah bayangin mati di tempat indah kayak gini. Dulu gue pikir, kalau pun harus pergi, mending di tempat yang tenang."