Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #16

Di Tengah Rasa Takut dan Harapan

Hari-hari setelah kepulangan mereka dari Tokyo berjalan dengan perlahan tapi menenangkan. Althea masih menjalani perawatan lanjutan dan kontrol rutin, tapi suasana batin dan hidupnya jauh berbeda dari sebelumnya. Setiap pagi kini ia bangun dengan semangat baru, bukan lagi dengan rasa cemas yang membebani dada seperti sebelumnya.

Luca masih setia menemani, walaupun kini mulai kembali menangani urusan perusahaan yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu. Meski begitu, tidak sehari pun ia lewatkan tanpa memastikan kabar Althea. Mereka punya semacam "ritual pagi"—pesan suara lewat WhatsApp setiap jam tujuh pagi, entah hanya untuk mengatakan “selamat pagi” atau sekadar memberi kabar singkat.

Dan Althea, dengan perlahan mulai menemukan kembali dirinya yang dulu. Ia kembali ke kampus, menulis blog, bahkan mulai mengikuti beberapa kegiatan sosial yang sebelumnya hanya jadi wacana. Namun, meski semua tampak baik di permukaan, ada satu hal yang masih menjadi beban di benaknya—masa depan hubungannya dengan Luca.

Sore itu, mereka duduk di sebuah kafe kecil di bilangan Blok M, tempat favorit Althea sejak SMA. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menguar pelan dari sela-sela trotoar. Althea mengaduk latte-nya pelan. Di seberangnya, Luca sedang membuka laptop, sesekali mencatat sesuatu dari dokumen yang ia baca. Suasana santai dan hangat, tapi hati Althea justru terasa sebaliknya—tegang dan dingin.

“Luc,” panggilnya pelan.

Luca langsung menoleh. “Hmm?”

“Lo udah pernah mikir soal... masa depan kita nggak?”

Luca meletakkan laptopnya. “Maksudnya?”

“Ya, maksud gue... sekarang lo udah balik kerja, lo punya ritme lagi. Sedangkan gue baru mulai adaptasi. Kita makin beda lagi kayak awal-awal. Gue takut kita jadi... nggak nyambung.”

Luca menatap Althea serius. “Lo ngerasa gitu?”

Althea mengangguk. “Gue ngerasa kayak hidup lo udah siap ke level selanjutnya, sementara gue baru mulai dari awal lagi. Kadang gue ngerasa kayak beban buat lo.”

“Stop. Jangan ngomong gitu.”

“Gue serius. Bukan karena gue gak percaya sama lo. Tapi karena gue... takut. Gue takut lo capek. Takut lo ngerasa udah nggak cocok sama hidup gue yang kayak puzzle berantakan.”

Luca menggenggam tangan Althea di atas meja. “Thea, gue bukan nyari hidup yang ‘rapi’. Gue nyari hidup yang jujur. Dan lo—dengan semua keberantakannya lo sekarang—itu justru bikin hidup gue lebih nyata.”

“Tapi lo bisa milih cewek yang jauh lebih siap dari gue, Luc.”

“Gue udah milih lo, Thea. Berkali-kali.”

Althea terdiam. Hatinya terharu, tapi tetap ragu.

“Gue cuma pengen jujur. Kadang gue bener-bener takut suatu hari nanti lo ngerasa nyesel, Luc.”

“Gue gak akan nyesel, Thea. Tapi kalau lo masih punya ketakutan itu, jangan lo pendam sendiri. Ngomong ke gue. Kita jalanin ini bareng, kan?”

Althea mengangguk. Senyumnya mulai muncul lagi, meski masih samar. Setelah kafe mulai sepi, mereka berjalan menyusuri trotoar basah sambil memegang payung yang sama. Althea menoleh ke Luca.

Lihat selengkapnya