Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #17

Mencintaimu, Pelan-pelan

Setelah seminar di kampus, Althea seolah membuka satu pintu besar dalam hidupnya. Sebuah ruang yang selama ini dikunci rapat-rapat dengan alasan takut, malu, dan trauma, kini terbuka perlahan. Ia tidak lagi takut dilihat sebagai "gadis yang hampir mati", atau sekadar pasien yang sembuh karena keajaiban. Kini ia adalah Althea Collins Nabastala yang hidup dengan penuh kesadaran, menerima masa lalunya dan membangun masa depannya sendiri.

Namun, ada satu hal yang semakin tumbuh bersamaan dengan proses pemulihan itu. Perasaannya pada Luca. Jika dulu hubungan mereka terasa seperti percikan liar dari dua orang asing yang sama-sama butuh pelarian, kini segalanya jauh lebih dalam. Lebih pelan. Lebih terarah. Tapi juga lebih intens.

Luca bukan lagi sekadar CEO sukses yang pernah mem-booking jasa absurd miliknya. Dia adalah rumah, jangkar, dan bahu tempat Althea bersandar ketika dunia terasa terlalu berat.

***

Suatu malam, mereka memutuskan untuk staycation di sebuah vila di Ubud. Althea yang saat itu sedang libur kuliah ingin menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan dari siapa pun. Mereka memilih tempat yang tenang, tersembunyi di tengah hutan, dengan suara gemericik sungai dan pepohonan bambu yang bergoyang tertiup angin malam.

Sesampainya di sana, Althea langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang besar bertirai putih, membiarkan udara alam menyapu wajahnya dari jendela terbuka.

"Ini surganya manusia yang lagi belajar napas pelan-pelan," gumamnya.

Luca tertawa dari arah pintu. "Lo emang butuh istirahat total. Selama seminggu ini lo lari ke mana-mana, jadi pembicara, bikin konten, bantu temen lo bikin komunitas survivor cancer. Gila."

"Gue ngerasa hidup lagi, Luc. Kayak… finally gue punya makna baru."

Luca berjalan pelan mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya menyentuh rambut Althea, menyibakkannya lembut dari wajahnya.

"Gue bangga banget sama lo. Tapi gue juga pengen lo inget kalau lo nggak harus buktiin apa pun ke siapa pun. Termasuk ke gue."

Althea membuka mata, menatap pria itu dalam-dalam. "Lo nggak tahu betapa pentingnya ucapan itu buat gue. Karena selama ini, sebagian besar ketakutan gue adalah... takut ngecewain lo."

"Thea, dengerin gue baik-baik. Lo bisa jatuh, nangis, atau bahkan kabur. Tapi lo nggak akan pernah ngecewain gue. Karena cinta gue ke lo bukan berdasarkan performa lo hari ini. Tapi karena siapa lo sebenernya."

Althea duduk perlahan, mendekatkan tubuhnya pada Luca. Hidung mereka hampir bersentuhan saat ia berbisik, “Lo tahu nggak, Luc? Dulu gue nggak percaya cinta. Gue pikir semua hubungan tuh transaksional, ada maunya, ada syaratnya.”

"Dan sekarang?"

"Sekarang gue percaya, tapi cuma karena lo."

Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Tidak ada rencana besar, tidak ada deklarasi cinta yang dramatis. Hanya dua hati yang pelan-pelan menyatu dalam keheningan malam Bali.

Luca menarik tubuh Althea ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan penuh kesabaran, seakan ingin mengatakan bahwa apa pun yang akan terjadi nanti, ia akan tetap di sana.

Lihat selengkapnya