Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #18

Pelukan yang Terlambat

Untuk waktu yang cukup lama, ada satu nama yang tidak pernah disebut oleh Althea—bahkan dalam percakapan paling jujur dengan Luca. Nama itu adalah Nadine Collins, ibunya. Althea tidak membenci sang ibu. Juga tidak menyimpan amarah. Tapi ada jarak yang begitu lebar di antara mereka. Jarak yang terbentuk bukan karena perbedaan prinsip, melainkan karena kehilangan dan luka yang tidak pernah disembuhkan bersama.

Ibu Althea adalah seorang dosen senior di Universitas Indonesia, bidang Psikologi Klinis. Sosok yang dikenal tegas, disiplin, dan perfeksionis. Sejak suami sekaligus ayah Althea meninggal akibat kecelakaan saat Althea berusia 11 tahun, Nadine seakan membangun benteng tinggi untuk menjaga kestabilan hidup mereka. Tapi benteng itu juga menutup banyak emosi yang seharusnya dibagi.

Setelah didiagnosis menderita leukemia akut stadium lanjut, Althea tidak langsung memberi tahu ibunya. Ada rasa takut dan malu. Ia merasa ibunya tidak akan mengerti. Ia membayangkan respon yang dingin, penuh analisis, dan tidak punya ruang untuk emosi yang cair. Namun sekarang, setelah semua yang terjadi—pemulihan, pengalaman mendekati kematian, kebangkitan dirinya kembali—Althea merasa sudah waktunya membuka ruang itu.

Hari itu datang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Bukan karena sebuah momen besar, melainkan karena satu pesan WhatsApp dari Luca yang sederhana

"Love doesn’t heal when you keep the wound hidden."

***

Sabtu pagi, Althea berdiri di depan rumah tua bergaya Belanda di daerah Menteng, tempat ia dibesarkan. Rumah itu tidak berubah banyak. Masih dengan gerbang besi hitam dan pohon kamboja di halaman depan. Dulu pohon itu tempat ia bermain ayunan, kini rantingnya lebih banyak dan menggantung seperti kenangan yang tak sempat diselesaikan.

Ia menggenggam tangan Luca, mencoba menyerap ketenangan dari pria itu.

“Gue takut, Luc. Bener-bener takut.”

“Gue di sini. Kalau lo nggak kuat, kita bisa cabut.”

Althea menggeleng. “Gue harus selesain ini.”

Luca mengangguk dan melepaskan tangan Althea pelan. “Gue tunggu di mobil. Tapi kalau lo butuh gue masuk, tinggal chat, ya.”

Althea menarik napas panjang, lalu menekan bel. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.

Nadine berdiri di ambang pintu, masih mengenakan blouse putih dan celana kain, rapi seperti biasa. Wajahnya terkejut. “Althea...?”

“Hai, Ma.”

Hening sesaat. Lalu Nadine mempersilakan Althea masuk. Tidak ada pelukan, tidak ada air mata. Hanya diam yang penuh makna. Mereka duduk di ruang tamu. Althea menatap sekeliling—semua masih sama. Sofa bermotif abu-abu, vas kristal dari Swiss, dan foto keluarga yang masih terpajang di dinding. Foto dirinya saat masih kecil bersama sang ayah dan ibu.

“Mama dengar kamu habis dari Jepang?” Nadine memulai.

Sesungguhnya Nadine sudah tahu tentang kondisinya Althea. Ia tahu hal itu pun karena nama sang putri sudah cukup menggaung di sosial media beberapa hari ini. Awalnya Nadine merasa kecewa kepada putrinya itu karena sang putri tidak menceritakan tentang penyakit yang ia derita kepadanya.

Namun, setelah Nadine telaah kembali, ia bisa menemukan alasan yang pasti kenapa Althea tidak mau menceritakan hal sepenting itu kepada dirinya. Sudah pasti alasannya karena Althea tidak pernah mendapatkan peran ibu secara langsung darinya. Hal itulah yang membuat Althea lebih memilih untuk memendam semuanya.

“Iya, ada pemeriksaan medis, Ma.”

“Untuk apa?”

Lihat selengkapnya