Minggu pagi yang biasanya tenang, kali ini terasa ganjil. Udara Jakarta sedang bersahabat, tidak terlalu panas meski matahari mulai meninggi. Althea sedang duduk di balkon apartemen Luca, mengenakan hoodie Luca yang kebesaran sambil menyeruput teh hijau hangat. Pikirannya masih melayang ke malam lamaran yang penuh kejutan. Hatinya penuh—dengan syukur, harapan, dan rasa cinta yang sulit digambarkan.
"Lo senyum-senyum sendiri kenapa?" suara Luca terdengar dari dalam, disusul langkah kaki mendekat.
Althea menoleh dan tertawa kecil. "Gue baru sadar... gue akhirnya tunangan sama CEO sultan yang dulu gue pikir sombong banget."
Luca duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya. "Dan gue baru sadar... gue akhirnya tunangan sama cewek keras kepala yang awalnya cuma jadi booking-an gue."
Mereka tertawa bersama, tawa yang ringan tapi penuh makna. Namun seperti halnya langit cerah yang tiba-tiba digulung awan gelap, kedamaian mereka akan segera diguncang oleh sesuatu yang tidak terduga.
***
Senin siang, di kantor pusat Dwipantara Group.
Luca baru saja menyelesaikan meeting mingguan dengan divisi teknologi saat sekretarisnya, Vira, menghampiri.
"Pak, tamu meeting dari pihak Aurora Group sudah tiba. Mereka menunggu di ruang konferensi utama."
Luca mengangguk tanpa banyak pikir. "Baik. Saya ke sana sekarang."
Namun langkahnya terhenti begitu membuka pintu ruang konferensi. Di sana berdiri seorang perempuan dengan balutan blazer hitam dan gaun satin krem yang anggun. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tetap cantik seperti terakhir kali Luca melihatnya—bahkan lebih dewasa dan dingin.
"Luca."
Nama itu terdengar begitu halus namun menggetarkan.
"...Aurora."
Perempuan itu tersenyum kecil. "Lama nggak ketemu."
***
Sore itu, Althea baru selesai membeli bahan makanan dari supermarket dekat apartemen ketika ia mendapat pesan singkat dari Luca.
"Hari ini, gue ada rapat mendadak sama Aurora Group. Nanti malam gue jelasin, ya."
Althea tidak langsung menjawab. Ada sesuatu pada kata "Aurora" yang membuat dadanya terasa berat. Ia berusaha mengabaikannya, mengalihkan perhatian dengan memasak dan menyalakan musik. Tapi rasa penasaran perlahan berubah menjadi kegelisahan.
Malam harinya, Luca pulang lebih lambat dari biasanya. Althea sudah menyiapkan makan malam—sup ayam bening kesukaan Luca dan salad sederhana. Mereka makan dalam diam beberapa saat.
"Aurora itu... mantan lo, ya?" tanya Althea akhirnya.
Luca berhenti mengunyah. "Iya. Dia mantan tunangan gue."
Althea mengangguk pelan. "Dan sekarang dia muncul lagi?"