Langit Jakarta mendung. Awan menggantung di atas gedung-gedung pencakar langit, dan suara klakson bersahutan seperti paduan suara yang tak pernah berakhir. Tapi di lantai tiga puluh lima kantor Dwipantara Group, keheningan justru jadi atmosfer dominan. Luca duduk di belakang meja kerjanya, pandangannya kosong menatap layar laptop yang sejak dua puluh menit lalu tak berubah sedikit pun. Jemarinya mengepal, tubuhnya tegang, dan satu nama terus mengulang di pikirannya. Aurora Shamara.
Kemunculan Aurora kemarin benar-benar di luar dugaan. Ia datang sebagai perwakilan dari perusahaan venture capital internasional yang tengah menjajaki kerja sama strategis dengan Dwipantara. Wajahnya masih sama seperti dulu—elegan, tenang, dan menakutkan dalam caranya yang lembut. Bedanya, kini tatapannya membawa lebih banyak intensitas—dan entah kenapa, luka lama Luca terasa menganga kembali.
"Lo masih suka ngelamun kayak dulu," suara Raka—teman kuliah Luca sekaligus teman sejawatnya—memecah keheningan dari sofa panjang di ruangan itu.
Luca mengedipkan mata, sedikit tersentak. “Sorry.”
“Dia masih ngaruh segitunya ke lo?”
“Bukan soal dia. Tapi... soal apa yang dia wakilin.”
“Lo takut kebahagiaan lo sekarang kebawa balik ke luka yang sama?”
Luca tak menjawab. Sebagai teman sejak kuliah, Raka tahu betul betapa hancurnya Luca setelah ditinggalkan Aurora tanpa alasan yang jelas tiga minggu sebelum pernikahan. Waktu itu, Luca yang dingin dan pendiam benar-benar tenggelam dalam dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka berteman, Raka melihat mata teman karibnya itu kosong.
***
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di bilangan Kemang, Althea duduk sendirian. Di hadapannya ada secangkir hot matcha latte yang sudah setengah dingin, dan ponselnya terbuka menampilkan pesan terakhir dari Luca.
"Maaf, ada meeting mendadak. Gue cancel lunch kita, ya."
Ini bukan pertama kalinya Luca membatalkan janji belakangan ini. Tapi ini pertama kalinya Althea merasa ada jarak yang tak kasat mata mulai tumbuh. Instingnya bicara—dan itu selalu benar.
Sambil menggulir timeline media sosial, tiba-tiba matanya tertumbuk pada unggahan akun resmi Dwipantara. Sebuah foto menunjukkan Luca sedang duduk di ruang rapat bersama tim asing dan Aurora. Althea tidak terlalu mengenal perempuan itu, dan tatapan Aurora pada Luca dalam foto itu membuat hatinya mencelos.
Ia menaruh ponsel pelan-pelan. Dadanya berdebar, bukan karena cemburu, tapi karena takut. Takut perasaannya terlalu dalam, terlalu nyata, dan terlalu rentan untuk dihancurkan.
***
Hari berganti. Ketika Luca pulang malam itu, Althea sedang duduk di balkon apartemen dengan selimut tipis membungkus tubuhnya. Angin malam Jakarta tak cukup dingin untuk menusuk, tapi cukup untuk menyejukkan kegelisahan yang terus membakar.
“Lo belum tidur?” tanya Luca sambil menaruh tasnya.
Althea menoleh. “Gue nungguin lo.”
Luca berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. Ia mencoba menggenggam tangan Althea, tapi gadis itu menarik tangannya pelan.
“Lo bohongin gue, Luc.”