Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #22

Cinta yang Diuji Waktu

Langit Jakarta terlihat tenang sore itu. Tapi di dalam hati Althea, badai tengah berkecamuk. Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Aurora Shamara—mantan tunangan Luca yang kini kembali muncul dalam kehidupan mereka. Meski pembicaraan mereka berjalan tenang, tetap masih ada banyak emosi yang tertahan. Terutama rasa cemas yang sulit ia redam.

Althea tahu Luca sudah memilihnya. Ia tahu itu dari setiap tatapan, setiap sentuhan, dan terutama dari lamaran tak terduga yang datang dari hati terdalam Luca. Tapi sebagai perempuan, melihat seseorang dari masa lalu kekasihnya yang begitu sempurna pastinya akan menimbulkan kekhawatiran.

Ia berdiri di depan cermin, mengenakan setelan blazer krem dan celana panjang hitam. Hari ini, ia diundang sebagai pembicara di fakultas tempat ia kuliah untuk membawakan sesi khusus tentang makna hidup dan kesehatan mental sebagai bagian dari komunitas Napasku.

“Ma, ini kegedean nggak?” tanya Althea pada Nadine yang sedang duduk di tepi ranjang sambil menyetrika scarf kecil.

Nadine tersenyum hangat. “Pas. Kamu kelihatan dewasa banget, Thea. Keren.”

Althea mengangguk pelan, lalu menarik napas dalam-dalam. Ini kali pertama ia berbicara di depan orang-orang kampusnya sejak ia memutuskan rehat sejenak karena sedang berjuang melawan sakitnya. Kembali ke tempat yang dulu pernah ia tinggalkan dalam kondisi terburuk bukanlah hal yang mudah.

“Kalau kamu gugup, ingat aja. Kamu di sini bukan buat jadi sempurna. Kamu di sini karena kamu kuat.”

Ucapan sang ibu membuat dada Althea terasa hangat. Dulu, hubungan mereka sempat memburuk. Tapi kini, Nadine menjadi pendukung paling setia di hidupnya.

***

Aula kampus dipenuhi banyak mahasiswa. Antusiasme tampak dari wajah-wajah muda yang menatap ke arah panggung dengan rasa ingin tahu. Saat Althea melangkah ke mimbar, tepuk tangan menggema. Luca duduk di bangku paling depan, mengenakan kemeja hitam polos. Tatapannya penuh bangga.

“Hai semua, nama saya Althea Collins Nabastala. Saya pernah duduk di kursi yang sama seperti kalian. Saya juga pernah bermimpi jadi desainer grafis, sampai suatu hari saya didiagnosis leukemia akut stadium lanjut.”

Hening. Bahkan suara bisik-bisik pun lenyap.

“Saya tidak akan cerita soal betapa menyesakkannya meminum obat setiap hari, atau betapa takutnya menunggu hasil laboratorium. Saya hanya ingin bercerita tentang keputusan saya untuk tetap hidup. Bahkan ketika dokter mengatakan hidup saya hanya tersisa enam bulan lagi.”

Ia melanjutkan dengan kisah hidupnya, tentang keputusan membuka jasa booking sebagai cara terakhir untuk merasa hidup, pertemuannya dengan Luca, dan bagaimana cinta serta komunitas memberinya makna baru.

“Saya berdiri di sini karena waktu saya bertambah. Tapi yang lebih penting dari itu, makna hidup saya juga bertambah. Dan kalian semua... bisa mulai dari sekarang.”

Tepuk tangan bergemuruh. Sebagian mahasiswa meneteskan air mata. Nadine bahkan harus memalingkan wajah karena tak ingin tangisnya terlihat.

Usai acara, beberapa mahasiswa datang mendekat. Mereka ingin foto, ingin memeluk, ingin mengucapkan terima kasih karena merasa dipahami. Luca berdiri di belakang Althea, membiarkan perempuan itu bersinar.

***

Malamnya, di apartemen, Luca tiba-tiba bicara dengan nada serius.

Lihat selengkapnya