Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #23

Hati yang Tak Bisa Dibeli

Jakarta baru saja selesai diguyur hujan. Aroma tanah basah masih tercium samar dari jendela apartemen yang dibuka sedikit oleh Althea. Gadis itu duduk di depan laptopnya, mencoba menyelesaikan ilustrasi desain untuk salah satu kampanye sosial Napasku yang bertema "Kamu Masih Berharga." Mata Althea fokus, tapi pikirannya tak sepenuhnya di layar. Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah layar ponsel yang tergeletak di sisi meja.

Bukan karena menunggu pesan dari Luca. Tapi karena sejak konferensi pers besar-besaran yang dilakukan Luca, ponsel Althea terus dibanjiri notifikasi. Mulai dari email kerja sama, undangan media, hingga—yang paling membuatnya berat—permintaan maaf dari beberapa akun yang dulu pernah membully-nya.

Ia menghela napas panjang. Bukan karena kecewa, tapi karena letih. Dunia seolah berubah arah setelah Luca berdiri dan berbicara atas namanya. Tapi Althea tahu, luka tak sembuh hanya karena orang lain membelanya. Luka itu tetap harus ia rawat sendiri.

Tok, tok

Pintu apartemen diketuk.

Althea bangkit. Saat pintu dibuka, sosok laki-laki yang begitu familiar langsung memeluknya tanpa kata.

"Luca?"

Luca memeluk lebih erat, tak berkata apa pun selama hampir satu menit. Barulah setelahnya ia menarik diri dan menatap mata Althea.

"Gue nggak pernah bilang ini, tapi... waktu ngeliat lo di depan mahasiswa-mahasiswa itu, gue tahu, lo bukan cuma bertahan. Lo berjuang. Dan gue bangga."

Althea tersenyum. "Gue juga bangga sama lo. Gue tahu nggak gampang ngelawan opini publik. Tapi lo berdiri buat gue."

"Karena lo berdiri buat diri lo sendiri duluan."

Mereka saling menatap. Momen itu cukup panjang untuk membungkus segala ucapan yang tak perlu diucapkan. Luka-luka mereka mungkin belum sepenuhnya kering, tapi cinta yang mereka punya sudah cukup untuk menyembuhkannya perlahan.

***

Dua hari kemudian, Luca dan Althea menghadiri acara makan malam dengan dewan yayasan Napasku dan beberapa kolega Luca. Itu adalah momen perkenalan resmi antara Althea dan beberapa tokoh penting yang selama ini berada di balik layar kehidupan profesional Luca.

Acara diadakan di sebuah restoran fine dining di kawasan Menteng. Dekorasi ruangan bernuansa modern klasik, dengan paduan warna krem dan emas yang elegan. Althea mengenakan dress panjang berwarna biru lembut, rambutnya disanggul sederhana. Luca menggenggam tangannya sejak turun dari mobil, seolah tahu bahwa malam ini tidak akan mudah.

Benar saja, ketika mereka tiba di meja utama, semua mata tertuju pada Althea.

"Selamat datang," ucap seorang wanita paruh baya dengan senyum tipis. "Jadi ini perempuan yang berhasil mencuri perhatian Luca."

Althea tersenyum sopan. "Terima kasih, Bu. Saya senang bisa ada di sini."

Percakapan berlangsung kaku di awal. Beberapa kolega berusaha basa-basi, menanyakan latar belakang Althea, kuliah, komunitas, hingga pekerjaannya sebagai ilustrator.

"Jadi... kamu belum menyelesaikan kuliahmu?" tanya salah satu direktur keuangan yayasan, seorang wanita dengan blazer merah mencolok.

"Belum. Saya sempat cuti karena sakit. Tapi sekarang saya sedang proses pengurusan kembali," jawab Althea tenang.

"Oh... saya kira kamu sudah lulus. Karena biasanya, yang diperkenalkan ke lingkungan kerja, ya, yang sudah settle."

Lihat selengkapnya