Lucathea

Jesica Ginting
Chapter #25

Rumah yang Tidak Pernah Pergi

Setelah hari TEDx, hidup Althea seperti berubah. Bukan hanya karena ia berhasil membuat ratusan pasang mata menangis dan tertawa dalam satu waktu, tapi juga karena video penampilannya viral. Cuplikan pidatonya tersebar di berbagai media sosial, terutama bagian ketika ia berkata.

"Saya pernah menjual waktu saya karena saya pikir hidup saya hidup hanya tinggal hitungan bulan. Tapi ternyata, hidup itu bukan cuma tentang panjangnya waktu. Tapi tentang bagaimana Anda memilih untuk benar-benar hidup."

Sejak saat itu, nama Althea makin sering disebut-sebut di ruang-ruang diskusi publik. Banyak mahasiswa, pelajar SMA, bahkan komunitas kesehatan mental menghubunginya untuk menjadi pembicara atau mentor. Tapi di tengah semua perhatian itu, Althea tetap menjadikan satu tempat sebagai rumahnya-Luca.

***

Pagi itu, Althea baru selesai sarapan ketika ponselnya berbunyi. Pesan dari komunitas desain kampusnya muncul di layar:

"Halo, Thea. Kami lagi nyusun acara alumni & dosen minggu depan. Boleh banget kalau kamu mau datang. Semua teman-teman nanyain kamu!"

Althea tersenyum. Sudah lama ia tidak kembali ke kampus. Terakhir kali, ia masih menjalani kemoterapi dan hanya mampir ke studio untuk mengambil beberapa sketsa. Rasanya asing membayangkan dirinya berdiri di tengah koridor fakultas desain grafis itu lagi, tapi kali ini sebagai penyintas, bukan pasien.

Saat Luca keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, Althea menunjukkan pesan itu padanya.

"Lo harus datang," ujar Luca sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Gue takut. Takut dikasihani. Takut dianggap aneh karena masa lalu gue."

Luca duduk di sampingnya. "Mereka nggak akan lihat masa lalu lo. Mereka akan lihat orang yang berhasil ngalahin kematian. Itu bukan hal kecil, Thea."

Althea terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Oke. Gue datang."

***

Hari reuni tiba. Althea mengenakan setelan blouse putih dan celana kain krem. Ia tidak berdandan menor, hanya sedikit bedak dan lip tint. Tapi begitu ia melangkah masuk ke area galeri kampus, semua mata langsung tertuju padanya.

"Thea?"

Seorang perempuan berambut sebahu langsung memeluknya. Itu Dita, temannya semasa awal kuliah.

"Ya ampun, lo cantik banget sekarang! Gila! Lo beneran Althea Nabastala yang dulu bolak-balik bawa sketchbook segede papan reklame itu?"

Althea tertawa. "Iya, ini gue. Masih suka gambar kucing juga."

Suasana langsung mencair. Banyak teman lama menghampiri, memeluk, menepuk bahunya, atau sekadar menatap dengan kagum. Tapi di balik semua itu, satu orang berdiri di pojok ruangan, memandanginya dengan mata berkaca.

Pak Darma, dosen ilustrasi sekaligus pembimbing akademik Althea.

"Thea," sapa Pak Darma dengan suara serak.

"Pak..."

Mereka berpelukan singkat. Lalu sang dosen berkata, "Dulu waktu kamu nggak datang-datang lagi, kami pikir kamu nggak akan kembali. Tapi lihat kamu sekarang. Kamu lebih hidup dari siapa pun di ruangan ini."

Lihat selengkapnya