Matahari baru saja tenggelam di balik gedung-gedung tinggi Jakarta ketika Althea dan Luca duduk berdampingan di balkon apartemen mereka. Sore yang tadinya hangat berubah menjadi malam yang sejuk. Angin lembut menyapu rambut Althea yang dibiarkan tergerai, sementara Luca sibuk mengaduk teh hangat di gelasnya.
Playlist favorit mereka kembali diputar—yang isinya kebanyakan lagu-lagu lembut akustik dan lirik-lirik nyeleneh yang bisa membuat mereka tertawa bersama. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam simpel: mie instan pakai keju dan telur rebus. Klasik, tapi selalu berhasil membuat perut mereka kenyang dan puas.
Setelah beberapa waktu saling diam, menikmati malam yang damai, Althea menoleh pelan ke arah Luca.
“Luc?”
“Hm?”
“Gue mau nanya sesuatu... tapi jangan ketawa, ya.”
Luca menoleh penasaran. “Lah, kalau lo udah bilang kayak gitu, berarti biasanya pertanyaannya bakal bikin gue ketawa.”
Althea mencubit pinggang Luca pelan. “Seriusan ini. Gue kepikiran dari kemarin.”
Luca menyeruput tehnya, lalu meletakkan gelas ke meja kecil di samping. “Oke. Tanya aja. Janji nggak ketawa.”
Althea menghela napas, lalu berkata dengan suara pelan namun jelas, “Kalau gue hamil, gimana?”
Luca langsung terdiam.
Angin malam seolah berhenti berhembus. Bahkan lagu di speaker terasa seperti mengecil sendiri.
Luca mengerjapkan mata. “Hah?”
Althea menatapnya serius, walau ada sedikit rona merah yang menjalar di pipinya. “Ya... lo inget, kan, waktu kita pertama kali... you know, lah. Gue kepikiran. Gimana kalau ternyata, meskipun lo nggak keluar di dalam, tapi tetap... terjadi gitu.”
Luca menatap Althea selama tiga detik. Lalu satu tawa kecil lolos dari mulutnya.
“LUC!”
Luca buru-buru menutup mulutnya, tapi tawanya makin besar. “Maaf! Maaf! Tapi sumpah... lo lucu banget.”
Althea memukul pelan bahu Luca dengan bantal kursi. “Gue nanya serius tau nggak!”
Luca masih tertawa. “Oke, oke, maaf. Gue serius sekarang.” Ia menarik napas panjang, lalu memiringkan badannya menghadap Althea. “Sayang... lo baca dari mana, sih, sampe kepikiran bisa hamil dari satu kali ngelakuin hubungan intim?”
“Ya, enggak ada baca, sih... tapi kepikiran aja. Soalnya lo, kan... ya tau, lah. Dan gue juga ngerasa aneh. Badan gue agak beda akhir-akhir ini.”
“Beda gimana?”
“Gue ngerasa sensitif banget. Terus... seminggu kemarin gue craving martabak asin tiap malam.”
Luca memijit pelipisnya. “Thea, craving martabak itu bukan berarti hamil. Itu berarti lo orang Indonesia.”
Althea cemberut. “Yaudah, kalau lo nggak percaya, mendingan gue test pack aja, deh.”
Luca nyaris menyemburkan teh yang baru saja diminumnya. “Lo udah beli?”
“Belum. Tapi gue bisa ke minimarket sekarang.”
“Sekarang? Tengah malam kayak gini? Emang lo niat banget, ya, bikin drama sinetron.”
Althea mendengus. “Gue nggak pengen drama. Gue pengen jawaban.”
Luca mengangguk, mencoba menahan tawa lagi. Ia memegang tangan Althea dan mengusapnya lembut. “Oke, kita bahas serius. Pertama, waktu itu kita pake pengaman. Dan lo tahu sendiri, gue nggak—”
“Keluar di dalam. Iya gue tahu,” potong Althea pelan sambil menunduk malu.