Sudah seminggu sejak hari pernikahan mereka yang indah di Paris—hari yang hanya berlangsung singkat namun penuh makna. Sehari setelah janji suci terucap dan cincin melingkar di jari manisnya, Althea harus merelakan Luca pergi. Suaminya itu harus terbang ke Belanda untuk menangani masalah mendadak yang menyeruak di perusahaan. Tanpa pilihan, Althea ditinggalkan di kota yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan awal kehidupan pernikahan mereka.
Selama tujuh hari terakhir, Althea benar-benar sendiri. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan Paris yang indah tanpa tangan Luca di sisinya. Ia makan di restoran kecil tempat mereka merencanakan makan malam romantis, tapi hanya sendiri. Ia tidur di ranjang hotel yang terlalu luas untuk satu orang, dan setiap malamnya hanya dipenuhi suara sunyi dan bisikan rindu yang tak kunjung mendapat jawaban.
Paling menyakitkan adalah—Luca tidak memberi kabar sedikit pun.
Setiap pagi, Althea terbangun lebih awal, menatap layar ponselnya dengan harapan ada pesan masuk dari Luca. Tapi tidak ada. Pesan yang ia kirim hanya centang satu. Tidak pernah berubah menjadi dua. Tidak pernah dibalas.
Althea: Mas... kamu baik-baik aja, kan?
Althea: Aku kangen banget. Aku nggak tahu harus apa.
Althea: Tolong, Mas. Kasih aku satu kabar aja. Aku takut...
Setiap pesan itu terkirim, Althea hanya bisa menatapnya dengan perasaan hampa. Setiap malam, ia coba menelepon, tapi yang terdengar hanya nada sambung panjang yang akhirnya berakhir dengan suara operator.
Selama seminggu, satu-satunya sumber kabar tentang Luca hanya berasal dari berita dan asistennya, Gilang.
CEO Dwipantara Masih Dalam Penyelidikan di Belanda.
Tiga Eksekutif Dwipantara Ditahan. Luca Alvarez Masih Dalam Pemantauan.
Investigasi Menyasar Proyek Akuisisi Tahun Lalu.
Berita-berita itu menambah beban pikiran Althea. Di tengah ketidakpastian, rasa rindu, dan kekhawatiran, ia merasa seperti seorang istri yang kehilangan pasangannya—padahal mereka bahkan belum menjalani seminggu kehidupan sebagai suami istri.
***
Pagi hari di hari kedelapan, Althea duduk di balkon hotel mengenakan sweater milik Luca. Aromanya masih menempel di serat kain itu. Di tangannya ada jurnal, tempat ia mencurahkan isi hati selama beberapa hari ini.
"Hari kedelapan. Aku belum menyerah menunggu kabar kamu. Tapi kenapa rasanya kayak ditinggalin?"
Ia menutup jurnal, lalu menatap ponsel yang tergeletak di meja. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan masuk. Hanya sunyi.
Sore harinya, Althea berjalan menyusuri tepian Sungai Seine, tempat ia dan Luca pernah bermimpi merayakan bulan madu. Tapi itu hanya tinggal mimpi. Ia kini sendiri, duduk di bangku kayu yang menghadap air tenang, dengan angin musim semi menyapu lembut pipinya.
“Mas... kamu di mana sih?” bisiknya pelan.